Rabu 09 Nov 2022 17:31 WIB

Wamenkumham Klaim Pasal Penghinaan Presiden tak Halangi Kebebasan Demokrasi

Pasal penyerangan harkat dan martabat presiden berada di Pasal 218 Ayat 1.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Agus raharjo
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej usai menyerahkan draf RKUHP terbaru ke Komisi III DPR di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (9/11).
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej usai menyerahkan draf RKUHP terbaru ke Komisi III DPR di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (9/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy resmi menyerahkan draf terbaru rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) kepada Komisi III DPR. Draf terbaru tersebut berisi 627 pasal, yang sebelumnya terdiri atas 632 pasal.

Dalam draf terbaru yang merupakan hasil sosialisasi dan diskusi di 11 kota itu, pihaknya mengubah penjelasan pasal 218 mengenai penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden. Di dalam penjelasan tersebut dijelaskan, penyerangan dimaksudkan adalah menista atau memfitnah presiden dan wakil presiden.

Baca Juga

"Kemudian di situ dikatakan juga pasal ini tidak dimaksudkan menghalangi kebebasan berpendapat, kebebasan berdemokrasi, kebebasan berekspresi yang diwujudkan antara lain dalam unjuk rasa," ujar Eddy usai rapat kerja dengan Komisi III DPR, Rabu (9/11/2022).

Pemerintah, jelas Eddy, pendapat yang disampaikan dalam unjuk rasa tidaklah masalah. Sehingga ia memastikan, RKUHP bukan menjadi alat untuk menghalangi kebebasan berdemokrasi dan berekspresi.

"Makanya mengapa kami bunyikan kalau dia menyampaikan ekspresi atau pendapatnya dalam bentuk unjuk rasa sebagai sesuatu yang tidak ada masalah," ujar Eddy.

Dalam draf RKUHP terbaru yang diterima Republika.co.id, pasal penyerangan harkat dan martabat presiden berada di Pasal 218 Ayat 1. Namun dalam Pasal 218 Ayat 2 termaktub, tidak merupakan penyerangan jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Selanjutnya dalam bab penjelasan, 'untuk kepentingan umum' adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa, kritik, atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

"Dalam negara demokratis, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan Presiden dan/atau Wakil Presiden," bunyi penjelasan Pasal 218 Ayat 2.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement