REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Mohammad Damami Zain, Dosen tetap UIN Suka Yogyakarta
“Kullu syai’in halikum illa wajha-hu,” segala sesuatu pasti binasa kecuali wajah-Nya (yaitu Allah) (Q.S Al-Qashash, 28:88). Manusia, sebagai bagian dari makhluk ciptaan Allah SwT mengalami 2 macam kebinasaan, yaitu mati fisik dan sangat mungkin masih bertambah mati hati.
Ketika manusia masih disebut “hidup”, maka ditandai dengan masih bernafas untuk menyerap gas oksigen (02) untuk disebarkan secara merata ke seluruh sel tubuh manusia, jantung bekerja normal memompa darah ke seluruh bagian tubuh, metabolism tubuh bekerja sebagaimana mestinya, pembelahan sel-sel tubuh masih normal berjalan, sistem kerja tubuh secara menyeluruh masih berjalan sebagaimana mestinya, dan yang tidak bisa ditinggalkan adalah masih ada “nyawa” (guwwatu al-hayyat) yang bekerja dalam tubuh. Inilah yang disebut hidup-fisik. Sebaliknya jika fungsi-fungsi organ tubuh diatas berhenti, maka itu yang disebut mati fisik.
Ketika manusia masih sehat badannya, hidupnya terhindar dari segala macam ancaman, harta-bendanya menumpuk, perutnya senantiasa kenyang, usianya masih relative muda, status-sosial yang bisa diraihnya cukup tinggi, kekuasaan yang dipegannya cukup kokoh, dan sedang kehujanan kehormatan serta pujian, maka rata-rata orang beranggapan bahwa mati fisik itu “masih jauh” dan tidak jarang pula yang sampai beranggapan bahwa dia bisa hidup abadi. Anggapan yang hanya bertumpu pada perkiraan dan jelas-jelas keliru ini, dibantah oleh Allah S.W.T sendiri (Q.S. Al-Humazah, 105:3-4).
Anggapan yang keliru diatas menunjukkan bahwa orang bersangkutan mengalami “mati hati”. Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa orang yang mengalami “mati hati” ditandai, pertama, hatinya telah dikunci mati, fungsi pendengarannya dan fungsi penglihatannya seolah hilang (disfungsi) (Q.S. Al-Baqarah, 2:7). Kedua, telinganya tuli (disfungsi pendengrannya sekalipun telinganya sehat), mulutnya bisu (disfungsi pengucapannya sekalipun mulutya sehat), dan matanya buta (disfungsi mata sekalipun organ matanya sehat) yang karena itu sukar baginya untuk menangkap “kebenaran” atau hidayah. (Q.S. Al-Baqarah, 2:18).
Jadi, hidup manusia di alam dunia ini diancam secara pasti oleh dua jenis kematian tersebut, yaitu “mati fisik” dan sangat mungkin “mati hati”. Lalu, siapa yang mampu menjadi “pengendali hidup” dan” pengendali mati” yang dimiliki ummat manusia diatas?
Al-Qur’an menjawab Allah S.W.T sajalah yang mampu menjadi pengendali semuanya itu. Sebab, Allah S.W.T jika hendak menjadi hidup, maka hiduplah sesuatu itu dan sebaliknya bila Allah S.W.T menghendaki sesuatu itu mati, maka matilah sesuatu itu (“idza qalla amran fa innama yaqulu la-hu kun fayakun”, jika dia berkehendak (menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) dia berkata “jadilah!”, maka jadilah (sesuatu yang dikehendaiki-Nya itu) ;Q.S Al-Baqarah, 2:117; Q.S. Ali Imran, 3:47; Q.S An-nahl, 16:40; Q.S Maryam, 19:35; Q.S Yasin, 36:82; Q.S Ghafir, 40:68). Sebab, Allah S.W.T memiliki sifat “al-muhyi” (yang menghidupkan) dan “al-mumit” (yang maha mematika). Bahwa misteri kematian adalah hak mutlak Allah S.W.T manusia hanya bisa pasrah total kpan kematian itu datang dan terjadi.
Wallahu a’lam bissawab.
Sumber: Majalah SM Edisi 22 Tahun 2019