REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Susu formula kembali menjadi perbincangan publik. Kali ini Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang akan menyurati Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menyetop iklan susu formula di TV nasional. BPKN menyampaikan hal ini dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VI DPR pada pekan lalu.
Pernyataan ini menuai beragam komentar. Direktur Eksekutif Segara Institut Piter Abdullah menilai pernyataan BPKN terlalu berlebihan karena faktanya produsen susu formula sudah tunduk dan patuh terhadap aturan, termasuk tidak mengiklankan produk.
“Kita harus membedakan antara susu formula yang memang diatur secara terperinci dan detail, dengan produk makanan/nutrisi pendamping ASI (MPASI). Jangan segala sesuatunya dipukul rata karena bisa menciptakan mispersepsi,” katanya dalam keterangan tulis, Rabu (9/11/2022).
Regulasi susu formula sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 tahun 2012 dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) 39/2013. Dua beleid ini bahkan menjelaskan secara terperinci tentang cara dan konten atau materi iklan yang disampaikan.
“Semua sudah ada checklistnya. Koridor hukumnya sudah jelas. Jadi tidak mungkin pelaku industri bertindak di luar koridor yang sudah ditetapkan. Kita mesti jeli dan cermat agar tidak membingungkan konsumen dan juga pelaku usaha,” katanya.
Produsen susu formula juga banyak yang memproduksi makanan bagi anak anak dan balita. Ada yang berupa susu pertumbuhan, makanan dan produk nutrisi lainnya. Sedangkan susu formula yang dilarang dikampanyekan atau diiklankan secara terbuka di ruang publik, produk bagi bayi usia 0 hingga 12 bulan.
“Keutamaan ASI eksklusif bagi bayi dalam enam bulan pertama kehidupan, kita sudah sepakat. Tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan. Namun demikian, kita pun jangan bablas untuk melarang hal lain di luar ketentuan. Pelaku bisnis berhak memasarkan produknya sepanjang sesuai dengan regulasi yang berlaku, konsumen juga berhak mendapatkan informasi yang memadai dan industri media juga berhak mendapatkan peluang pemasukan dari iklan,” katanya.
Daripada melakukan pembatasan iklan yang sudah jelas aturannya dan sudah dipatuhi implementasinya, Piter menyarankan para pihak untuk menjalankan dua strategi secara simultan. Pertama, menggencarkan kampanye eksklusif dengan cara yang lebih simpatik. Kedua, mendorong pemerintah untuk memberlakukan cuti melahirkan selama enam bulan, bukan hanya tiga bulan.
"Kita masih sering mendengar kampanye ‘susu sapi hanya cocok bagi anak sapi, bayimu bukan anak sapi kan?’. Bagaimana perasaan ibu bayi yang memang produksi ASI nya bermasalah ketika mendengar edukasi semacam itu. Padahal semua ibu pasti menginginkan memberikan ASI eksklusif, tapi tidak semua ibu punya keberuntungan yang sama," katanya.
Piter juga menyarankan untuk menggelar survei bagi para ibu bayi yang sudah kembali bekerja setelah masa cuti melahirkannya selesai."Fakta yang selalu dilupakan, produktivitas ASI cenderung menurun ketika sang ibu kembali ke kantor dan bergulat kembali dengan tekanan pekerjaan. Kampanye ASI eksklusif itu penting tapi kita jangan berhenti sampai di sini. Kita juga perlu mendorong regulasi yang memungkinkan para ibu pekerja untuk memberikan ASI eksklusif enam bulan misalnya dengan memperpanjang masa cuti melahirkan," katanya.