REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Hiariej, menyebut penjelasan pasal 278 mengenai penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden dalam naskah RUU tentang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) versi 9 November mengalami perubahan. Hal itu dia katakan usai menyerahkan naskah RUU KUHP hasil dialog publik dan sosialisasi itu kepada Komisi III DPR dalam rapat kerja di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu.
"Ya, kami tambahkan di naskah terbaru," kata dia.
Ia mengatakan, perubahan dalam pasal penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden tersebut berupa tambahan penjelasan, di antaranya penjelasan bahwa penyerangan harkat dan martabat yang dimaksudkan adalah menista atau memfitnah.
Kemudian, kata dia, dalam pasal 278 draf RUU KUHP teranyar itu dikatakan pula pasal itu tidak dimaksudkan menghalangi kebebasan berpendapat, maupun berdemokrasi dan berekspresi, sehingga di dalam penjelasan itu, ujarnya lagi, pemerintah ingin menyatakan bahwa unjuk rasa itu tidak menjadi persoalan ataupun masalah.
"Makanya mengapa kita membunyikan, kalau dia menyampaikan ekspresi atau pendapat itu dalam bentuk unjuk rasa sesuatu yang tidak ada masalah, begitu," ujarnya.
Ia pun mengaku terbuka terhadap masukan anggota Komisi III DPR terkait pasal-pasal di dalam naskasRUU KUHP yang diserahkan pihaknya hari ini agar dimasukkan ke dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) untuk ditindaklanjuti dalam agenda pembahasan pada 21 dan 22 November mendatang.
"Tadi usulan dari Pak Taufik Basari tadi ada penambahan lagi beberapa hal untuk mencegah jangan sampai ada multi interpretasi," kata dia.
Sebelumnya dalam raker, anggota Komisi III DPR, Taufik Basari,menyampaikan masukannya agar pasal mengenai penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden dalam naskah RUU KUHP dibatasi yakni menyangkut bentuk fitnah.
"Supaya tidak meluas lagi tafsirnya, maka saya mengusulkan agar yang dimaksud dengan menyerang harkat dan martabat presiden ini kita batasi dengan bentuk fitnah yaitu tuduhan yang diketahuinya tidak benar," katanya.
Menurut Basari pembatasan dalam pasal tersebut diperlukan guna menjaga marwah negara demokrasi, serta mencegah agar tidak dipergunakan sewenang-wenang oleh pemerintah yang otoritarian.
"Hal yang sama juga terkait dengan pasal yang mengatur tentang penghinaan terhadap pemerintah dan penghinaan terhadap kekuasaan umum dan oleh karena itu ini pun kita batasi bahwa yang dimaksud penghinaan adalah perbuatan berupa fitnah," ujarnya.
Menurutnya, diperlukan batasan penjelasan yang objektif dalam pasal tersebut agar lebih terukur dan bisa dipertanggungjawabkan. "Jadi biar jelas dan pembuktiannya pun juga objektif, kalau penghinaan kan subjektif, ya," kata dia.