REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertamina (Persero) menyiapkan strategi untuk menyeimbangkan antara ketahanan iklim dan keamanan energi, salah satunya dengan pengembangan natural based solutions (solusi berbasis alam), kata Senior Vice President Research Technology and Innovation Pertamina, Oki Muraza.
Dalam diskusi di Paviliun Indonesia COP-27 di Sharm el-Sheikh di Mesir pada Rabu (9/11/2022), Oki menjelaskan bahwa Pertamina telah mendeklarasikan komitmen untuk mencapai nol emisi karbon (net zero emission) pada 2060. Langkah itu sejalan dengan kebijakan pengurangan emisi yang diusung pemerintah.
Untuk mencapainya, Pertamina menjalankan dua strategi yaitu dekarbonisasi dari usahanya saat ini dan membangun bisnis baru yang berprinsip hijau dan berkelanjutan. Langkah yang dilakukan untuk dekarbonisasi melibatkan efisiensi energi, kegiatan migas tanpa gas suar bakar (zero flare), penangkapan karbon dan utilisasi.
"Langkah kedua termasuk meningkatkan listrik hijau di Indonesia, ekosistem EV dan solusi berbasis alam," jelasnya, dalam siaran pers.
Kebijakan solusi berbasis alam sendiri bukanlah hal yang asing. Namun, dibutuhkan sinergi antara solusi berbasis alam dengan sektor energi, bukan sebagai entitas yang terpisah.
Solusi berbasis alam merupakan salah satu kebijakan jangka pendek dan menengah yang dapat menopang akselerasi implementasi teknologi iklim yang merupakan kebijakan jangka panjang.
Solusi-solusi tersebut perlu menjadi pertimbangan untuk merancang strategi untuk mencapai mitigasi karbon. "Jadi kita tidak hanya harus mampu menangkap karbon dioksida dengan daun tapi juga memproduksi sesuatu termasuk karet dan hidrokarbon terbarukan (minyak nabati) dan lain sebagainya. Pada akhirnya kita mengharapkan akan memiliki produk lain dari solusi berbasis alam," kata Oki.
Dia menyoroti ada tiga pilar yang perlu diperhatikan dalam pengembangan solusi berbasis alam untuk mewujudkan ketahanan bisnis menghadapi tantangan perubahan iklim seperti keterlibatan komunitas, biodiversitas dan konservasi serta ekonomi yang berkelanjutan.
Beberapa vegetasi yang memiliki potensi dikembangkan dalam solusi berbasis alam termasuk nyamplung (Calophyllum inophyllum), malapari (Pongamia pinnata) untuk pengembangan biofuel serta ekosistem mangrove yang memiliki kemampuan penyerapan karbon 264 ton CO2 per hektare.
"Kami melakukan beberapa studi dengan universitas dan institusi pemerintah bagaimana mempromosikan tanaman yang dapat memberi stok bahan baku untuk kilang hijau," tuturnya.
Dia juga menyoroti beberapa inisiatif seperti penangkapan gas metana yang dapat digunakan untuk pembangkit listrik dan tujuan lain seperti compressed natural gas. Inisiatif lain seperti limbah cair menjadi biometana dan sampah padatan biomassa menjadi etanol.
Inisiatif berikutnya seperti pusat Carbon Capture and Storage (CCS) di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan serta pengembangan pemanfaatan panas bumi atau geothermal yang dilakukan Pertamina.