REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Dunia Islam dan Kristen pada Abad Pertengahan sangat kontras. Peradaban Islam pada abad kesembilan dan seterusnya ditunjang kota-kota yang bercorak kosmopolitan.
Baghdad sebagai ibu kota Kekhalifahan Abbasiyah dihuni ratusan ribu orang. Pada saat yang sama, daerah-daerah di Eropa, seperti Paris atau London, memiliki penduduk yang jauh lebih sedikit, yakni kurang dari 20 ribu jiwa.
Paul M Cobbpenulis dalam Race for Paradise: An Islamic History of the Crusades mengatakan, Perang Salib tak ubahnya invasi yang dilakukan orang-orang pinggiran terhadap penduduk yang lebih maju dan berkembang. Maka dari itu, serangan pasukan salib atas Yerusalem pada 7 Juni 1099 menimbul kan trauma bagi kaum Muslimin.
Mereka merasa terkejut, bagaimana mungkin suatu masyarakat yang maju dapat dikalahkan oleh gerombolan yang merangsek tanpa aturan?
Graham E Fuller, guru besar sejarah dari Simon Fraser University, dalam A World Without Islam mengatakan, orang-orang Kristen yang sampai ke Yerusalem saat itu umumnya adalah orang-orang bodoh serta bingung secara budaya dan geografis.
Tak sedikit dari mereka yang datang dalam keadaan lapar, sehingga terdorong nafsu untuk melakukan kekejaman dalam skala masif di negeri orang. Bahkan, muncul pula kasus kanibalisme.
Sejumlah pasukan salib itu tidak hanya membunuh orang-orang non-Kristen (termasuk Yahudi dan Kristen ortodoks), melainkan juga memakan bangkai mereka.
“Di Ma'arra (Suriah), pasukan-pasukan kami merebus orang-orang kafir dewasa dalam panci-panci masak, mereka memanggang anak-anak di panci-panci panjang dan melahap mereka,” begitu kesaksian Radulph dari Caen, seorang prajurit salibis pada 1098.
Amat tak sebanding dengan perilaku penuh toleransi dari Umar bin Khattab. Sejarah mencatat, pasukan Muslimin berhasil menaklukkan Yerusalem pada 637 M.
Segera setelah menerima kunci kota suci tersebut, Khalifah Umar menetapkan perlindungan atas gereja-gereja Kristen setempat. Demikian pula, kaum Yahudi diperkenankan untuk membagun kembali sinagoge di sana.
Mereka bisa menikmati lagi kebebasan beragama sejak diusir bangsa Romawi lima abad sebelumnya. Pada 1099, pasukan salib bertindak amat serampangan dan tak berperikemanusiaan. Menghadapi marabahaya itu, umat Islam dan Yahudi di Yerusalem bahu-membahu.
Baca juga: Mualaf David Iwanto, Masuk Islam Berkat Ceramah-Ceramah Zakir Naik tentang Agama
Kerja sama lintas iman ini membuktikan, para salibis bukan hanya ancaman bagi dunia Islam. Fuller mengingatkan, jauh sebelum tiba di Yerusalem, pasukan Salib sewaktu masih berarak di Rhineland, Jerman, sempat menyerang komunitas-komunitas setempat.
Di situ, orang-orang Yahudi diultimatum, apakah mau masuk Kristen atau dibunuh. Sekitar 12 ribu orang Yahudi menemui ajal.
Tak sedikit melakukan bunuh diri massal untuk menghindari penyiksaan. Pada 15 Juli 1099, pengepungan berakhir. Aliansi penduduk Yerusalem tak kuasa menahan gempuran pasukan salib.
Dalam periode 24 jam saja, seluruh mereka pria, wanita, anak-anak, kaum Muslim, Yahudi, dan Kristen ortodoks dibantai habis pasukan berbendera salib itu (karena itu disebut sebagai Perang Salib).
Jumlah korban jiwa diperkirakan mencapai 60 ribu orang. Fuller menukil keterangan dari The Catholic Encyclopedia: “Orang-orang Kristen masuk ke Yerusalem dari segala sisi dan membantai penduduknya tanpa memedulikan usia atau jenis kelamin.”