REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Belum genap 24 tahun, pahlawan nasional Brigjen Anumerta Slamet Riyadi gugur di Ambon, Maluku untuk meredam pemberontakan yang bergejolak di awal-awal kemerdekaan. Menurut kesaksian dari keponakannya, Siti Sumarti (78 tahun) berangkatnya Slamet Riyadi ke Ambon tanpa meminta izin lebih dulu orang tuanya.
"Pak Slamet meninggalkan rumah dan berangkat ke Ambon tahun 1950 ndak pamit, makanya Mbah kaget sekali. Dari radio Mbah mendengar bahwa Slamet Riyadi gugur di Ambon," kata Siti, Kamis (10/11/2022).
Tak lama berselang setelah kecamuk agresi militer belanda 1 dan 2, Riyadi bergegas untuk meredam perpecahan yang mungkin terjadi di bumi Maluku. Pasalnya, waktu itu Republik Maluku Selatan (RMS) mendeklarasikan kemerdekaannya dari Indonesia yang belum seumur jagung. Riyadi pun bertolak ke sana pada 10 Juli 1950 yang menjadi bagian dari Operasi Senopati.
"Hatinya itu sudah pengennya berjuang terus, dia sudah berjuang kemana-mana. Di Bandung ikut, Madiun ikut ke mana-mana sudah ikut pokoknya di mana dia ada pemberontakan dia inginnya tampil," terangnya.
Siti menceritakan alasannya Slamet Riyadi dimakamkan di Ambon, bukan di Solo. Ia mengatakan bahwa itu adalah wasiatnya yang dititipkan oleh sahabatnya untuk disampaikan kepada keluarga.
"Ada sahabatnya yang menyampaikan jika dia gugur di Ambon tidak mau dipindahkan ke sini. Udah pesan itu kalau sama gugur di mana saya gugur tidak usah dipindah ke mana-mana. Semua ini adalah tanah air sendiri jadi kita keluarga sudah tidak berani," terangnya.
Sementara itu, sebagai keponakan, Siti terus meneladani kiprah Slamet Riyadi yang tulus ikhlas, dan cinta pada Tanah Air. Namun, kendati menyandang gelar pahlawan nasional jarang ada tokoh yang menyambangi kediamannya sekadar untuk kilas balik.
"Mbah tidak dikasih apa-apa ya hanya (gelar) pahlawan nasional itu saja. Dari pemerintah nengok-nengok aja nggak ada kecuali dari rumah sakit Slamet Riyadi, Kopassus Slamet Riyadi, Universitas Slamet Riyadi bukan itu pakai nama Slamet Riyadi kalau mau ulang tahun ke makam pahlawan terus mampir ke sini kalau Hari Pahlawan ya jarang," katanya.
Meski menyandang sebagai keponakan dari pahlawan nasional, Siti mengaku pernah kesulitan untuk membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) sebesar Rp 2,3 juta. Ia juga pernah mengajukan hal tersebut kepada pemerintah guna meminta keringanan.
"Ndak (belum diringankan) sampai sekarang ya minta tolong pada anak-anak untuk dibantu PBB-nya Rp 2.300.000 tidak ada keringanan sampai sekarang. Tapi tahun ini sudah sudah bayar," terangnya.
Siti menjelaskan bahwa tidak berharap apa-apa pada pemerintah. Namun, apabila pemerintah berniat membantu ia akan bersyukur menerimanya.
"Harapan untuk pemerintah sendiri katanya yang dianggap keluarga itu hanya anak dan istri. Jadi saya hanya sebagai keponakan ndak berani meminta apa-apa. Saya tidak mengharap apa-apa tapi kalau pemerintah memberi apa-apa ya alhamdulillah," ujarnya.