REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bupati Tanah Bumbu periode 2010-2015 dan 2016-2018, Mardani H Maming, didakwa menerima suap senilai total Rp118,754 miliar terkait penerbitan Surat Keputusan Bupati tentang Pelimpahan lzin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batubara PT Bangun Karya Pratama Lestari kepada PT Prolindo Cipta Nusantara.
"Terdakwa Mardani H Maming selaku Bupati Tanah Bumbu periode 2010-2015 dan 2016-2018 telah menerima hadiah berupa uang dan barang secara bertahap dari PT Trans Surya Perkasa (TSP) dan PT Permata Abdi Raya (PAR) dan uang tunai melalui Rois Sunandar dan M Aliansyah dari Henry Soetio (Alm) selaku Direktur PT Prolindo Cipta Nusantara (PCN) melalui PT Angsana Terminal Utama (ATU) dan PT PCN dengan total sejumlah Rp118,754 miliar," kata jaksa penuntut umum (JPU) KPK Budhi Sarumpaet di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banjarmasin pada Kamis (10/11).
Pemberian itu diberikan karena Mardani Maming selaku Bupati Tanah Bumbu telah memerintahkan untuk membuat dan menandatangani Surat Keputusan Bupati Tanah Bumbu Nomor 296 Tahun 2011 tentang Persetujuan Pelimpahan lzin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Batubara PT Bangun Karya Pratama Lestari Nomor 545/103/IUPOP/D.PE/2010 kepada PT Prolindo Cipta Nusantara.
Sebelum Mardani menjadi Bupati Tanah Bumbu, ia adalah pemilik CV Bina Usaha yang berubah nama menjadi PT Batulicin Enam Sembilan dengan istrinya, Erwinda, selaku komisaris dan Rois Sunandar yaitu adik Maming menjadi Direktur.
PT Batulicin Enam Sembilan mempunyai enam anak perusahaan yaitu PT TSP, PT PAR, PT Batulicin Nusantara Maritim, PT Bina Karya Putra Batulicin, PT Reski Batulicin Transport dan PT Batulicin Enam Sembilan Security.
Pada 2010, Direktur Utama PT PCN Hendry Soetio (Alm) ingin melakukan usaha pertambangan dengan mengambil alih kawasan lahan tambang batubara milik PT Bangun Karya Pratama Lestari (BKPL) yang sudah memiliki Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) di Kecamatan Angsana Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Henry Soetio lalu bertemu dengan pemilik PT BKPL Andi Suteja melalui perantara Suroso Hadi Cahyo dan Idham Chalid di Jakarta dan disepakati pengambilalihan IUP PT BKPL dengan bayaran Rp40 miliar. Henry sudah membayar Rp5 miliar ke Suroso dan Rp25 miliar ke Andi Suteja sehingga total seluruhnya Rp30 miliar.
Henry Soetio lalu meminta bantuan Mardani Maming untuk mengurus pengalihan/pelimpahan IUP OP PT BKPL kepada PT PCN serta izin lokasi pembangunan pelabuhan untuk memfasilitasi bongkar muat batubara milik PT PCN ketika sudah beroperasi.
Mardani lalu menunjuk Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tanah Bumbu Raden Dwijono Putrohadi Sutopo untuk mengurus izin dan sebagai imbalannya Henry Soetio diminta menyerahkan fee kepada Mardani Maming saat penambangan PT PCN sudah berproduksi.
Henry Soetio lalu mendirikan PT ATU yang pengurusnya berdasarkan usulan Mardani yaitu Komisaris Utama Rois Sunandar (adik Mardani), Muhammad Bahruddin (paman Mardani) dan Wawan Surya (pegawai PT Batulicin Sembilan) sebagai direktur PT ATU.
Raden Dwidjono lalu melakukan rapat dengan timnya soal pengalihan IUP OP PT BKPL kepada PT PCN dan disimpulkan hal itu tidak boleh dilakukan, bahkan setelah dikonsultasikan ke Ditjen Minerja Kementerian ESDM pengalihan tetap tidak boleh. Raden Dwidjono lalu melaporkan ke Mardani Maming namun Mardani tetap meminta agar pengalihan tetap diproses.
"Dengan mengatakan 'Sudahlah Pak Dwi diproses saja karena pemberian perizinan dari pemerintah kepada pihak swasta merupakan suatu kebijakan sehingga bila terjadi pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku itu ranahnya Tata Usaha Negara yang mana itu Pak Dwi kalo terjadi kesalahan paling fatal paling hanya pencabutan terhadap perizinan yang kita terbitkan', selanjutnya Raden Dwidjono menyanggupinya dengan mengatakan 'nggehpak'," kata jaksa.
Seminggu kemudian, Mamin dengan muka marah dan nada tinggi meminta Kasi Penyiapan Wilayah dan Tata Lingkungan Buyung Rawando Dani dengan mengatakan "Padahkan lawan Pak Dwi, yang permohonan pengalihan IUP dari PT BKPL ke PT PCN Lakasi!" yaitu meminta agar Raden Dwidjono segera mengurus permohonan pengalihan IUP dari PT BKPL ke PT PCN.
Setelah mendapat perintah itu, Raden Didjono lalu menandatangani surat rekomendasi tentang surat keputusan pelimpahan IUP OP PT BKPL ke PT PCN pada 15 Mei 2011 dan pada Juni 2015 Mardani Maming mengeluarkan surat keputusan tentang pelimpahanIUP No 296 tahun 2011 dengan dibuat tanggal mundur 16 Mei 2011.
Pada 17 Juli 2013, dibentuk PT Trans Surya Perkara (TSP) yang bergerak di bidang Jasa Pengelolaan Pelabuhan kemudian pada 13 Juli 2013 dibentuk PT Permata Abadi Raya (PAR) yang bergerak di bidang pembangunan, perdagangan, perindustrian, pengangkutan, pertanian dan jasa.
Selanjutnya ada perubahan pengurus PT ATU dengan memasukkan PT TSP yang seolah-olah memiliki saham 30 persen dan M Bahruddin selaku komisaris (saham 10 persen), M Aliansyah (saham 30 persen) dan Henry Soetio sebagai direktur PT ATU.
"Alasan masuknya PT TSP dalam kepemilikan saham di PT ATU agar Henry Soetio dapat memberikan fee kepada Terdakwa melalui PT TSP dalam bentuk dividen karena terdakwa selaku Bupati Tanah Bumbu telah membantu proses pengalihan IUP OP PT BKPL kepada PT PCN," tambah jaksa.
Pada 2014, IUP OP PT PCN pun sudah berproduksi dan beroperasi proses penambangannya. Setelah perubahan akta PT ATU, Mardani Maming melalui PT TSP telah menerima fee dari Henry Soetio melalui PT ATU secara bertahap melalui transfer ke rekening Bank Danamon PT TSP dan rekening PT Karya Tantra Mega yang terafiliasi dengan PT TSP dan penerimaan secara tunai melalui Rois Sunandar dan Muhammad Aliansyah. fee itu diberikan dari 20 Maret - 10 Juli 2014 sejumlah Rp13,618 miliar.
Untuk penerimaan fee selanjutnya dibuat perjanjian seolah-olah ada pembagian hasil keuntungan kegiatan usaha jasa pelabuhan PT ATU kepada PT TSP yang isi perjanjiannya PT TSP akan mendapatkan keuntungan sebesar Rp10.000/ton setiap bulan dari PT ATU.
Mardani Maming juga menerima fee melalui PT TSP dan Rois Sunandar dari Henry Soetio melalui PT PCN dan PT ATU secara bertahap dengan cara transfer ke rekening Bank Danamon PT TSP dan Bank Mandiri PT TSP serta Rois Sunandar dari 16 September 2014 - 12 November 2015 dengan total fee sejumlah Rp47,244 miliar.
Untuk penerimaaan fee selanjutnya, pada 1 Januari 2016 dibuat perjanjian seolah-olah ada pembagian keuntungan atas jasa kegiatan penunjang usaha pelabuhan PT PCN antara PT PCN dengan PT PAR yang ditandatangani Henry Soetio selaku Direktur PT PCN dan Wawan Surya selaku Direktur PT PAR yang isi perjanjiannya PT PCN memberi fee kepada PT PAR sebesar Rp10.000/MTsetiap bulannya.
Setelah dibuat perjanjian, Mardani Maming menerima fee secara bertahap dengan cara transfer ke rekening Bank Mandiri PT TSP dari 26 Februari 2016 - 6 Juli 2018 senilai total Rp32,65 miliar.
Pada sekitar Juli 2018, Mardani mengundurkan diri sebagai Bupati Tanah Bumbu namun hingga 15 Mei 2019, Mardani melalui PT PCN masih menerima fee sebesar Rp6,45 miliar.
Pada 10 September 2019, Mardani menempatkan dirinya sebagai komisaris PT Batulicin Enam Sembilan, setelah itu Henry Soetio tidak lagi bersedia untuk membayar fee karena tidak menjabat lagi dengan Bupati Tanah Bumbu. Atas hal tersebut, Mardani meminta bantuan Junaidi selaku kuasa hukum PT PCN untuk mengurus agar Henry Soetio tetap bersedia menyerahkan fee.
Kemudian pada 1 April 2020, dibuat perjanjian seolah-olah ada pembagian hasil keuntungan atas jasa penunjang kegiatan usaha pelabuhan PT PCN kepada PT PAR dan Suroso Hadi Cahyo, selanjutnya Mardani menerima fee melalui PT PCN secara bertahap dengan cara transfer ke rekening Bank Mandiri PT PAR dari 26 Juni - 17 September 2020 sejumlah Rp18,792 miliar.
Selain penerimaan fee dalam bentuk uang, Mardani juga menerima hadiah dalam bentuk barang berupa 3 buah jam tangan, yaitu pada 16 Juni 2018 berupa 1 jam tangan Richard Mille RM07-01 White Gold seharga Rp1,95 miliar, (2) pada 7 Mei 2018, berupa 1 jam tangan Richard Mille RM11-03 NTPT se harga Rp3 miliar dan (3) pada 6 Juli 2018, 1 jam tangan Richard Mille RM11-02 NTPT sehargaRp3,2 miliar.
Mardani Maming didakwa dengan pasal 12 huruf b atau pasal 11 Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.