REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad Yuanda Zara, Staf pengajar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta
Sejarah Muhammadiyah di Wonogiri dapat dikatakan masih terlalu samar. Terutama di tahun-tahun formatifnya. Berbagai sumber yang ada umumnya hanya membahas tentang Muhammadiyah di Wonogiri di era kontemporer.
Masih tersisa pertanyaan tentang kapan sebenarnya Muhammadiyah mulai hadir di Wonogiri? Bagaimana kiprah Muhammadiyah di sana di era kolonial Belanda? Apa saja tantangan yang dihadapi Muhammadiyah di sana kala itu? Apa mimpi-mimpi Muhammadiyah Wonogiri sekitar 90 tahun silam?
Tulisan ini akan mencoba memberi penjelasan historis ringkas tentang Muhammadiyah di Wonogiri pada tahun-tahun awal eksistensinya di sana, dengan mengandalkan surat kabar Adil dari tahun 1933 sebagai sumber primernya, mengingat sangat terbatasnya arsip Muhammadiyah yang tersedia untuk periode itu.
Secara struktural, Muhammadiyah hadir untuk pertama kalinya di Wonogiri dalam bentuk sebuah ranting (dulu bernama grup) pada tahun 1925. Kemunculan Muhammadiyah di Wonogiri tidaklah mudah. Pimpinan Grup Muhammadiyah Wonogiri pada tahun 1930an, Darmotjahjono, dalam sebuah pidatonya memperingati sewindu kelahiran Muhammadiyah di Wonogiri pada tahun 1933 menyebut bahwa besar dan banyak sekali rintangan yang dihadapi oleh Muhammadiyah ketika pertama kali menginjakkan kakinya di Wonogiri.
Belum lagi berbagai macam fitnah yang menimpa dirinya sebagai salah seorang pelopor pengenalan Muhammadiyah di sana. Sampai-sampai, ungkapnya, ia nyaris mengorbankan jiwanya.
Menurut Darmotjahjono, segala tantangan itu berasal dari kebencian ‘kaoem reactie’ kepada Muhammadiyah. Tidak diketahui secara spesifik siapa yang dimaksud sebagai ‘kaum reaksi’ di sini, tapi dari istilah yang digunakan Darmotjahjono dapat diketahui bahwa ‘kaum reaksi’ ini adalah mereka yang menentang berbagai usaha pembaruan, reformasi dan kemajuan yang diperkenalkan Muhammadiyah di sana.
Menilik berbagai narasi sejarah kehadiran Muhammadiyah di berbagai tempat di luar Yogyakarta di era 1920an dan 1930an, perselisihan bahkan penentangan terhadap kehadiran Muhammadiyah adalah sesuatu yang bukannya tidak lazim, apalagi mengingat kemajuan yang dibawa Muhammadiyah hadir di alam masyarakat yang umumnya masih tradisional, belum lagi ditambah oleh tekanan kolonial di sana sini.
Di tahun-tahun awal kehadirannya di Wonogiri, Muhammadiyah harus berjuang keras untuk mendapatkan perhatian apalagi simpati dan dukungan publik. Sebagai contohnya, Darmotjahjono menyebut bahwa pada mulanya Muhammadiyah di Wonogiri menyebarkan 300-500 lembar buletin kepada warga Wonogiri dalam rangka mengundang mereka menghadiri acara-acara Muhammadiyah. Dari jumlah yang termasuk banyak untuk masanya itu, hanya 4-5 orang, atau paling banyak 10-15 orang yang datang, alias sangat sedikit dan amat jauh dari harapan para pelopor Muhammadiyah di sana.