REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia bereaksi keras terkait adanya desakan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) kepada Menteri Ketenagakerjaan, untuk menerbitkan aturan berisi fleksibilitas jam kerja dengan prinsip no work no pay (tidak bekerja, tidak dibayar).
Aspek menilai desakan Apindo kepada pemerintah itu membuktikan bahwa kelompok pengusaha hari ini semakin rakus dan hanya mementingkan keuntungan untuk dirinya sendiri. Para pengusaha rakus belum juga puas walaupun sudah berhasil ‘melahirkan’ Omnibus Law Undang Undang Cipta Kerja, namun masih saja terus menekan kehidupan pekerja atau buruh.
“Aspek Indonesia mendesak Menteri Ketenagakerjaan untuk menolak dengan tegas terkait permintaan aturan fleksibilitas jam kerja no work no pay yang tidak manusiawi tersebut,” ujar Presiden Aspek Indonesia, Mirah Sumirat, dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (12/11/2022).
Mirah mengingatkan pemerintah dalam hal ini Menteri Ketenagakerjaan untuk menunjukkan keberpihakannya kepada nasib pekerja atau buruh di Indonesia. Jangan sampai pekerja atau buruh mengalami eksplotasi dari pengusaha karena mereka adalah urat nadi perekonomian Indonesia.
“Pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada pekerja atau buruh, baik perlindungan kepastian kerja, kepastian upah layak, dan kepastian jaminan sosial,” papar Mirah lagi.
Mirah menyentil pernyataan Apindo yang berdalih perlunya aturan no work no pay untuk mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalih Apindo itu dianggap hanya dibuat-buat, demi mencari alasan untuk lepas dari tanggungjawab membayar hak-hak pekerja atau buruh.
“Dalih Apindo itu hanya omong kosong, karena sebetulnya mereka tidak mau bertanggung jawab untuk mensejahterakan pekerja atau buruhnya sendiri,” kata Mirah menegaskan.
Aspek Indonesia mendesak pemerintah dan pengusaha untuk memaksimalkan peran serikat pekerja di setiap perusahaan, khususnya dalam menghadapi tantangan dunia usaha saat ini. Masih banyak cara lain yang bisa dilakukan untuk efisiensi perusahaan, tanpa harus menghilangkan hak-hak normatif pekerja atau buruh, dan tanpa melakukan PHK.