Ahad 13 Nov 2022 10:42 WIB

Mengapa Harun, Khalifah Dinasti Abbasiyah Diberi Gelar Al-Rasyid?

Khalifah Harun Al-Rasyid puncaki kejayaan Dinasti Abbasiyah

Rep: Hasanul Rizqa/ Red: Nashih Nashrullah
Khalifah Harun Al-Rasyid (ilustrasi).
Foto: encyclopedia.com
Khalifah Harun Al-Rasyid (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Harun al-Rasyid memegang tampuk pemerintahan Abbasiyah sejak 14 September 786.

Ia menggantikan saudaranya, Khalifah al-Hadi (764-786), yang hanya berkuasa selama satu tahun.

Baca Juga

Tepat di hari pelantikannya, putranya lahir, yakni al-Ma'mun. Sultan Harun mengangkat seorang ulama yang karismatik untuk menjadi perdana menterinya. 

Namanya, Yahya al-Barmaki. Kalangan sejarawan mencatat, Yahya juga berperan sebagai guru sang khalifah.

Dalam usia semuda itu serta dengan kekuasaan di genggaman, amatlah mudah bagi Harun untuk tergelincir, mabuk kekuasaan.

Maka dari itu, ia memerlukan bimbingan dan nasihat, baik secara kognitif, politik, maupun spiritual.  

Gelar al-rasyid di belakang namanya menandakan watak yang penuh kebijaksanaan. 

Sebagai seorang Muslim, ia pun gemar mengamalkan ibadah-ibadah sunnah. Dengan begitu, jiwanya terlatih untuk selalu tawadu dan peka terhadap persoalan rakyat. 

Sebagai contoh, Sultan Harun biasa merutinkan shalat sunah 100 rakaat tiap hari, bahkan hingga akhir hayatnya.

Ia pun bersedekah 10 ribu dirham dari harta pribadinya kepada rakyat jelata. Ia kerap berkonsultasi kepada para alim ulama, baik dalam menemukan solusi persoalan keumatan maupun fikih ibadah-ibadah mahdhah. 

Di hadapan mereka, sang penguasa bersikap hormat dan rendah diri. Reputasi Khalifah Harun al-Rasyid juga cemerlang sebagai pencinta sastra. 

Ia memandang syair sebagai ungkapan kebudayaan yang sarat makna. Kisah persahabatannya dengan Abu Nuwas (sering disebut pula: Abu Nawas) melegenda bahkan sampai hari ini. 

Penyair jenaka-sufistik itu lahir dengan nama Hasan pada 756 di Ahvaz (kini Provinsi Khuzestan, Iran). Abu Nuwas tak pernah bertemu dengan ayah kandungnya. 

Ketika masih kecil, sang ibu menjualnya kepada seorang penjaga toko dari Yaman, Sa'ad al-Yashira. 

Mula-mula, Abu Nuwas bekerja di toko milik tuannya di Basrah. Sejak remaja, otak pemuda ini memang cerdas, terutama dalam retorika. 

Ia pun menarik perhatian Walibah ibnu al-Hubab, seorang penyair, yang lantas membeli dan memerdekakan remaja tersebut. 

Sejak saat itu, al-Hubab meng ajarinya ilmu-ilmu agama, bahasa, dan sastrakhususnya puisi. 

Abu Nuwas juga belajar dari penyair Arab bernama Khalaf al-Ahmar di Kufah. Ia kemudian hijrah ke Baghdad. 

Mulai dari sana, popularitasnya kian menanjak. Sultan pun menaruh rasa penasaran terhadaap penyair ini. Melalui perantara musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nuwas lantas terpilih menjadi penyair istana (sya'irul bilad).

Secara formal, tugasnya menggubah sajak puji-pujian untuk sang khalifah. Namun, secara informal ia adalah kawan debat dan diskusi Khalifah Harun al-Rasyid.   

sumber : Harian Republika
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement