REPUBLIKA.CO.ID, SHARM EL SHEIKH, MESIR -- Administrasi Presiden Amerika Serikat Joe Biden melihat perluasan energi nuklir sebagai hal penting dalam mengatasi emisi terkait dengan perubahan iklim. Sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar kedua di dunia, AS memandang daur ulang sebagai cara untuk meningkatkan pasokan bahan bakar nuklir domestik dan mengurangi limbah.
Munat tenaga nuklir meningkat dari negara dan perusahaan yang ingin mengurangi emisi dan meningkatkan pasokan energi. Namun, daur ulang limbah radioaktif dari tenaga nuklir memiliki tantangan keamanan dan biaya.
Advanced Research Projects Agency-Energy, atau ARPA-E dari Departemen Energi AS, bertujuan untuk mengembangkan selusin proyek untuk mendaur ulang bahan bakar nuklir bekas. Bulan lalu memberikan 38 juta dolar AS untuk diproses ulang kepada perusahaan termasuk GE Research, bagian pengembangan dari General Electric Company.
Asosiasi Energi Atom Internasional (IAEA) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan dapat memantau proses tersebut jika Amerika Serikat (AS) mengambil jalan itu. Hal tersebut dikatakan oleh kepala IAEA pekan ini.
Ketika ditanya tentang eksplorasi pemrosesan ulang AS, Direktur Jenderal IAEA Rafael Grossi mengecilkan kemungkinan itu akan menjadi kenyataan dalam waktu dekat.
“Saya tidak melihat banyak yang benar-benar serius dalam pemrosesan ulang,” kata Grossi kepada Reuters dalam wawancara Rabu(9/11/2022) malam di KTT iklim COP27 di Mesir, dilansir dari Japan Today, Ahad (13/11/2022).
"Pemrosesan ulang adalah teknologi yang sangat sulit yang membutuhkan banyak infrastruktur."
Pemrosesan ulang melibatkan pengubahan plutonium dan uranium dalam limbah menjadi bahan bakar nuklir baru. Pakar proliferasi memperingatkan bahwa praktik tersebut dapat memberikan target baru bagi militan yang ingin membuat senjata nuklir mentah. Sementara Prancis mempraktikkan pemrosesan ulang, rantai pasokan di AS bisa lebih lama dan lebih rentan, kata para ahli.
Mantan Presiden AS Jimmy Carter telah menghentikan pemrosesan ulang limbah nuklir pada tahun 1977, dengan alasan kekhawatiran proliferasi. Mantan Presiden Ronald Reagan mencabut moratorium pada tahun 1981.
Seorang juru bicara Departemen Energi AS mengatakan departemen “memeriksa semua sisi siklus bahan bakar nuklir pada tahap R&D untuk membantu meningkatkan kinerja bahan bakar, mengurangi produksi limbah, dan membatasi risiko proliferasi.
AS telah menghabiskan miliaran dolar selama beberapa dekade untuk proyek di Gunung Yucca di Nevada untuk menyimpan limbah nuklir. Namun, Mantan Presiden Barack Obama menutup Yucca setelah oposisi lokal. Limbah nuklir sekarang disimpan di reaktor di seluruh negeri di kolam dan di tong baja dan beton.