REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Yudisial (KY) memberikan pandangannya mengenai Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). KY mengusulkan agar Pemerintah mencabut sejumlah pasal terkait penyelenggaraan peradilan dalam RKUHP.
Pertama, KY mengkritisi Pasal 278 huruf b RKUHP versi 9 November 2022. KY memandang dasar bagi hakim untuk menyatakan ada atau tidaknya “sikap tidak hormat” dalam rumusan pasal ini harus lebih jelas dan obyektif. Misalnya dengan menentukannya secara detail dalam Tata Tertib Persidangan.
Selain itu, definisi “menyerang integritas hakim” yang dimuat dalam Penjelasan Pasal 278 huruf b RKUHP yang memuat contoh diantaranya: “menuduh hakim bersikap memihak atau tidak jujur” bisa menjadi ancaman serius bagi pihak-pihak berperkara untuk bersikap kritis terhadap perilaku hakim di persidangan.
"Hal ini juga bisa menjadi disinsentif bagi pihak-pihak berperkara untuk membuat laporan ke KY atau lembaga pengawas lain karena ada bayang-bayang kriminalisasi," kata Anggota KY, Binziad Kadafi dalam konferensi pers pada Senin (14/11).
Atas dasar itu, KY mengusulkan agar Pasal 278 huruf b RKUHP dihapus. "Karena sudah tercakup tujuannya maupun normanya dalam rumusan baru Pasal 278 huruf a yang direkomendasikan," lanjut Kadafi.
Sedangkan terhadap Pasal 278 huruf c RKUHP, KY menilai Pasal ini mengatur soal perekaman sidang, dimana selama ini hasil rekamannya dapat menjadi dasar bagi KY dalam memutus ada tidaknya pelanggaran KEPPH ketika ada laporan masyarakat.
Sumber rekaman bisa dari KY sendiri melalui kegiatan pemantauan, atau pelapor yang mengikuti langsung jalannya persidangan, serta dari pengadilan. KY menilai tidak ada unsur ketercelaan dari kegiatan perekaman sidang pengadilan sehingga harus dikriminalisasi.
"Sebab kepentingan akhir yang harus dilindungi adalah ketertiban dan kelancaran persidangan, serta integritas pembuktian, selain keterbukaan sidang untuk umum dimana hal ini menjadi kewenangan hakim ketua sidang untuk menjaganya," ujar Kadafi.
Selain itu, KY menganjurkan hakim ketua sidang yang menentukan apakah sidang bisa direkam atau dipublikasikan. "Untuk itu, Pasal 278 huruf c RKUHP kami usulkan dihapus," ujar Kadafi.
Kadafi juga mengingatkan aktivitas perekaman dan publikasi tidak akan bisa dihindarkan dalam sistem peradilan elektronik (e-court) yang sedang digalakkan oleh Mahkamah Agung (MA).
"Hal ini tetap mengacu pada Tata Tertib Persidangan, serta kebutuhan secara situasional apakah kegiatan perekaman dan publikasi sidang memang dapat mengganggu ketertiban dan kelancaran persidangan atau menciderai integritas proses pembuktian," ucap Kadafi.