REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Membangun ketahanan keluarga di tengah derasnya arus media sosial memang menjadi tantangan era saat ini. Ketahanan keluarga tidak melulu soal cinta, tetapi soal komitmen yang perlu ditegakkan bersama-sama untuk menciptakan generasi yang kuat di masa depan.
Sekretaris Pengurus Pusat Fatayat Nahdlatul Ulama (NU), Laila Nur Farida menyampaikan, ketahanan bangsa itu berangkat dari ketahanan keluarga. Sebagai titik awal membangun ketahanan bangsa, Fatayat NU pun memiliki program-program yang menyasar keluarga. Ini untuk menekan angka perceraian dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sekaligus membangun ketahanan keluarga demi lahirnya generasi yang sehat.
"Sekarang ini program utama Fatayat NU adalah memerangi stunting. Sebab banyak anak-anak kurang gizi. Fatayat sangat concern di situ. Termasuk bagaimana membangun keluarga. Ini sudah kita lakukan, seperti konsultasi pranikah, dan pendidikan pranikah," kata dia kepada Republika.co.id, Rabu (9/10/2022).
Ibu rumah tangga yang pernah mengenyam pendidikan di Pesantren Bahrul Ulum Tambak Beras Jombang itu juga mengingatkan agar tidak bersikap permisif terhadap KDRT. Sikap permisif ini bisa mengganggu keharmonisan keluarga dan pendidikan anak. Apalagi jika anak sampai melihat ayahnya berbuat KDRT dan menganggap biasa perbuatan tersebut.
Tantangan dalam membangun ketahanan keluarga pada setiap zaman tentu berbeda-beda. Menurut Laila, tantangan era saat ini ialah pergaulan bebas, hamil di luar nikah, pernikahan dini, pornografi dan media sosial. Seseorang tidak bisa menyikapinya dengan santai hanya karena terlahir dari keluarga yang baik. Sebab, apa yang dilakukan orang tua zaman dulu tidak bisa diterapkan di masa kini.
Orang tua sekarang harus terus belajar bagaimana mendidik anak dan menciptakan ketahanan keluarga sesuai zamannya. Anak yang lahir di tahun 2000-an, berbeda pola pendidikannya dengan anak yang lahir di tahun 2010-an. Dalam kondisi ini, kalangan ibu-ibu perlu tetap belajar dan jangan lengah. Sebab tantangan era saat ini jauh lebih besar dari sebelumnya.
"Misalnya ada ibu di rumah yang menonton drakor (drama Korea), lalu anak ditinggalkan dengan gadgetnya. Kan tidak tahu anaknya menonton apa. Ini harus menjadi perhatian, tidak boleh lengah, dan cari strategi dalam menghadapi tantangan zaman sekarang ini," kata Laila, yang pernah menempuh pendidikan di Leeds University, Inggris.
Menurut dia, kunci keberhasilan membangun ketahanan keluarga adalah komunikasi. Selain bersikap terbuka terhadap ilmu-ilmu baru tentang pendidikan, orang tua juga perlu belajar bagaimana menjalin komunikasi dengan anak. Suami harus meningkatkan quality time bersama pasangannya. Begitu pun istri kepada pasangannya.
"Kuncinya quality time dengan keluarga. Karena sekarang kita lebih banyak berkomunikasi dengan orang di luar yang ada di kontak ponsel kita, daripada dengan keluarga," kata dia.
Islam juga mengajarkan untuk tidak membuang-buang waktu untuk hal yang tak perlu. Terkadang orang tua bisa membuka media sosial selama satu-dua jam tetapi tidak terasa lamanya. Di sisi lain, orang tua merasa tidak punya waktu untuk mengajari anak-anak. "Jadi kuncinya komunikasi, terus belajar dan kembali pada agama," kata dia.
Bagi kalangan muda-mudi yang baru mengarungi bahtera rumah tangga, harus belajar meningkatkan komunikasi dan menemukan strategi mengalihkan anak dari gadget. Buat sesuatu yang menarik untuk bisa menjadi permainan bagi anak. Mereka juga mesti belajar untuk tidak main gadget di depan anak.
Tak dapat dipungkiri, di era teknologi digital saat ini, tak sedikit anak yang bahkan masih berusia satu tahun sudah memegang gadget. "Saya sendiri kadang di ruang tunggu rumah sakit, semua orang dewasa memegang gadget, sehingga anak-anak ikutan memegang gadget," ujar Laila.
Selanjutnya, bentengi keluarga dengan agama. Pernikahan tidak hanya melulu soal cinta, tetapi juga ibadah. Karena saat ini gadget dengan media sosialnya sering menjadi sarana untuk berselingkuh. "Termasuk menjadi tempat mengunggah atau berbagi foto yang cantik dan menarik bagi lawan jenis, padahal di rumah hanya memakai daster," tuturnya.
Untuk itu, perlu pemahaman agama dan pengetahuan tentang pendidikan dalam membangun ketahanan keluarga, agar segala sikap dan perbuatan di media sosial maupun di tengah masyarakat memiliki nilai ibadah. Apa yang ditunjukkan Nabi Muhammad SAW dalam keluarganya merupakan contoh membina keluarga yang dipenuhi nilai-nilai ibadah.
Rasulullah SAW adalah orang yang setia kepada istrinya. Nabi SAW juga memanggil istri dengan sebutan-sebutan yang menyenangkan, dan tidak memanggil dengan sebutan yang menyakiti hati. Rasulullah SAW juga tidak senang dengan perkataan body shaming atau celaan fisik.
Laila menjelaskan, suatu kali Aisyah RA pernah cemburu dengan salah satu istri Nabi SAW bernama Shafiyah. Kemudian Aisyah mengeluarkan kata-kata celaan, hingga membuat Nabi marah. Dalam hadits yang diriwayatkan dari Aisyah RA, dijelaskan bahwa Aisyah pernah menyebut Shafiyah (salah satu istri Nabi SAW) pendek. Lalu Rasulullah SAW bersabda, "Engkau telah menyampaikan kata-kata yang jika dicampur dengan air laut maka air laut itu akan berubah (keruh)." (HR Abu Dawud)
Nabi SAW juga tidak pernah memukul istrinya. Aisyah RA berkata, "Rasulullah SAW tidak pernah sama sekali memukul dengan tangannya kepada perempuan dan tidak pernah juga memukul pembantunya. Nabi memukul hanya pada saat berperang." (HR Muslim 2328).