Kota Surakarta atau yang lebih dikenal dengan nama Solo memiliki kuliner unik yang tercipta sejak zaman kolonial Belanda. Bahkan kuliner khas Solo ini juga telah menyebar ke berbagai kota dan ada juga yang telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda. Menarik ya? Apakah Sobat Calakan tahu apa saja kuliner khas tersebut? Ini dia ulasannya.
1. Sosis Solo
Sosis solo ini bukanlah olahan daging cincang atau giling yang diberi bumbu dan dibungkus dengan saluran pencernaan hewan seperti usus dan lambung. Di Solo, sosis sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Orang Belanda memakan sosis sebagai cemilan ataupun disajikan saat pesta. Selain itu, makanan ini dihidangkan untuk menjalin keakraban dengan raja-raja Mataram Kuno.
Namun, agar rasanya lebih diterima oleh kaum pribumi, maka dicipatakanlah sosis versi lokal dengan pala, bawang putih, dan bumbu merica. Selain itu, bagian kulit terbuat dari telur dadar yang tipis. Adapun, sosis versi lokal ini diciptakan oleh seorang pengusaha restoran Tionghoa di Solo. Sosis solo sendiri memiliki dua varian yaitu sosis solo basah (dikukus) dan sosis solo goreng.
2. Selat Solo
Selat Solo atau dikenal dengan bistik Jawa merupakan menu perpaduan antara Barat dengan Jawa. Selat Solo terdiri dari daging yang dimasak dengan saus kecap, yang dilengkapi dengan berbagai macam sayuran seperti acar timun, buncis, dan selada. Tak lupa juga ada kentang goreng yang dipotong memanjang.
Menurut sejarahnya, selat Solo ini berasal dari kata salad. Namun, diubah menjadi selat agar lebih mudah diucapkan. Selain itu, kebiasaan orang Eropa yang suka makan steak, ternyata justru kurang diminati oleh para Sultan. Akhirnya, dipadukanlah daging steak dengan sayuran agar dapat diterima oleh kedua belah pihak. Hingga akhirnya, terciptalah selat Solo yang menjadi makanan khas kota Solo.
3. Sate Kere
Berbeda dari sate pada umumnya yang menggunakan daging, sate kere ini menggunakan tempe gembus yaitu tempe yang terbuat dari ampas tahu. Ada juga yang menggunakan jeroan sapi seperti usus dan paru sapi. Penyajian sate kere ini disiram dengan bumbu kacang. Lahirnya sate kere disebabkan karena rakyat jelata juga ingin mencicipi sate. Namun saat itu, daging hanya dikonsumsi oleh kaum priyayi dan kolonial.
Meskipun sate kere ini merupakan wujud kreativitas orang Solo yang saat itu tidak mampu makan daging, nyatanya saat ini sate kere merupakan salah satu kuliner yang cukup populer.
4. Serabi Solo
Salah satu camilan yang bisa Anda coba saat berada di Solo adalah Serabi Solo atau Srabi Solo. Makanan ini terbuat dari tepung beras dan santan kelapa. Ciri khas Serabi Solo ini berbentuk pipih di pinggir dan tebal di tengah. Selain itu, cara pengemasan serabi digulung dan dibungkus daun pisang. Serabi Solo ini sudah ada sejak Kerajaan Mataram. Serabi disebut dalam Serat Centhini yang ditulis oleh pujangga istana atas perintah Pakubwana V pada tahun 1814-1823. Serabi sendiri sering disuguhkan pada acara akad atau pernikahan, ruwahan, bahkan kudapan.
Adapun merek Serabi Solo yang terkenal yaitu Serabi Notosuman. Nama Notosuman ini diambil dari nama Jalan Notosuman yang kini menjadi Jalan Moh. Yamin. Serabi Notosuman ini awalnya dibuat oleh pasangan etnis Tionghoa yaitu Hoo Gek Hok dan Tan Giok Lan. Saat ini diteruskan oleh kakak-adik Handayani dan Lidya yang mempunyai gerai masing-masing.
5. Sate buntel
Selain sate kere, ada juga sate buntel. Berbeda dari sate kere, sate buntel terbuat dari daging kambing yang dicincang hingga halus dan dibungkus dengan lemak kambing. Adapun bumbu utama sate buntel ini yaitu kecap manis dan merica.
Sate buntel ini diciptakan oleh Lim Hwa Youe pada tahun 1948. Ia merupakan pemilik Warung Sate Kambing Tambak Segaran. Lim Hwa Youe berinovasi dengan mencacah daging kambing dan kemudian dibungkus dengan lemak kambing. Kata buntel inilah yang memiliki arti bungkus. Saat ini, sate buntel telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2021.
Gimana sobat? Ternyata di balik kelezatan makanan khas Solo tersimpan banyak sejarah ya. Kapan mau coba semua makanan itu? (Lutfie Fahrizal R)