Selasa 15 Nov 2022 14:11 WIB

Jalan Tengah Rumusan Pasal Penyerangan Harkat dan Martabat Presiden di RUU KUHP

Maksud penyerangan harkat dan martabat di RUU KUHP adalah menista atau memfitnah.

Red: Andri Saubani
Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej mengikuti rapat kerja bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/11/2022).Pemerintah telah menyerahkan draf terbaru RUU KUHP untuk selanjutnya dibahas oleh DPR. (ilustrasi)
Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej mengikuti rapat kerja bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (9/11/2022).Pemerintah telah menyerahkan draf terbaru RUU KUHP untuk selanjutnya dibahas oleh DPR. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Antara, Nawir Arsyad Akbar

Pasal 278 mengenai penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden dalam naskah RUU Kitab Hukum Pidana (RKUHP) mengalami perubahan. Dalam draf versi 9 November yang diserahkan pihak pemerintah ke DPR, perubahan dalam pasal penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden tersebut berupa tambahan penjelasan, di antaranya penjelasan bahwa penyerangan harkat dan martabat yang dimaksudkan adalah menista atau memfitnah.

Baca Juga

Kemudian, dalam pasal 278 draf RUU KUHP teranyar itu dikatakan pula pasal itu tidak dimaksudkan menghalangi kebebasan berpendapat, maupun berdemokrasi dan berekspresi. Sehingga, di dalam penjelasan itu, pemerintah ingin menyatakan bahwa unjuk rasa tidak menjadi persoalan ataupun masalah.

"Makanya mengapa kita membunyikan, kalau dia menyampaikan ekspresi atau pendapat itu dalam bentuk unjuk rasa sesuatu yang tidak ada masalah, begitu," ujar Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Hiariej, belum lama ini.

Edward pun mengaku terbuka terhadap masukan anggota Komisi III DPR terkait pasal-pasal di dalam naskah RUU KUHP yang diserahkan pihaknya pada 9 November 2022 agar dimasukkan ke dalam Daftar Inventaris Masalah (DIM) untuk ditindaklanjuti dalam agenda pembahasan pada 21 dan 22 November mendatang.

"Tadi usulan dari Pak Taufik Basari tadi ada penambahan lagi beberapa hal untuk mencegah jangan sampai ada multiinterpretasi," kata dia.

Dalam draf RUU KUHP yang diserahkan kepada Komisi III DPR, terdapat pengurangan lima pasal sehingga total pasal RUU KUHP saat ini berjumlah 627 pasal. Lima pasal yang dihapus merupakan hasil sosialisasi dan diskusi Kemenkumham di 11 kota.

"Lima pasal yang dihapus itu adalah satu soal advokat curang. Dua, praktik dokter dan dokter gigi. Tiga, penggelandangan. Empat, unggas dan ternak. Lima adalah tindak pidana kehutanan dan lingkungan hidup," ujar Edward.

Pemerintah juga melakukan reformulasi. Dalam reformulasi tersebut terdapat tiga poin yang dijelaskannya, yakni menambahkan kata ‘kepercayaan’ dalam pasal-pasal yang mengatur mengenai agama, mengubah frasa ‘pemerintah yang sah’ menjadi pemerintah, dan mengubah penjelasan Pasal 218 mengenai penyerangan harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.

"Jadi kami memberikan penjelasan supaya tidak terjadi multiinterpretasi, ini betul-betul berdasarkan masukan dialog publik," ujar Edward.

Ketiga, adalah menambahkan pasal dan ayat baru terkait penegasan beberapa tindak pidana dalam RKUHP sebagai tindak pidana kekerasan seksual. Hal ini berdasarkan hasil harmonisasi dan sinkronisasi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

"Di dalam Pasal 4 undang-undang a quo itu kita membuka peluang yang dikenal dengan istilah blanco strafbepalingen. Bahwa termasuk di dalam KUHP yang menyatakan dengan tegas sebagai tindak pidana kekerasan seksual," ujar Edward.

 

Terakhir adalah reposisi. Tindak pidana pencucian uang direposisi dari tiga pasal menjadi dua pasal tanpa adanya perubahan substansi. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement