REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Johanis Tanak merespons langkah rekan kerjanya, Nurul Ghufron, mengugat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Johanis mengatakan, setiap orang memiliki hak untuk mengajukan permohonan judicial review yang dinilai merugikan kepentingan.
"Prinsip atau asas dalam ilmu hukum pada dasarnya memberi hak kepada siapa saja yang merasa kepentingannya dirugikan dapat mengajukan pemohonan judicial review ke Mahkamah Kontitusi terhadap suatu UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945," kata Johanis dalam keterangannya, Selasa (15/11/2022).
Kendati demikian, Johanis menegaskan bahwa ia tidak dalam posisi mendukung atau melawan Ghufron dalam gugatan itu. Dia menjelaskan, semua orang dapat mengajukan gugatan ke MK. Sebab, hal ini pun diatur oleh undang-undang.
"Tidak dalam kapasitas saya mendukung or not tentang hal itu karena hal tersebut dijamin oleh UU. Dalam judicial review yang dimohonkan ke MK itu UU, bukan beleid," ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menggugat Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal yang digugat Ghufron terkait dengan batas usia untuk mencalonkan diri sebagai pimpinan KPK.
"Pemohon (Nurul Ghufron) dengan ini mengajukan permohonan pengujian materiil (judicial review) Pasal 29 huruf (e) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," sebagaimana dikutip dari salinan permohonan gugatan Ghufron pada Senin (14/11/2022).
Pasal 29 huruf (e) UU KPK disebut bahwa untuk dapat diangkat sebagai pimpinan KPK harus memenuhi persyaratan berusia paling rendah 50 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada proses pemilihan. Sementara itu, dari alasan permohonan gugatan disebut bahwa umur pemohon ketika dilantik sebagai wakil ketua anggota pimpinan KPK periode 2019-2023 adalah 45 tahun dan umur pemohon ketika masa jabatannya berakhir adalah 49 tahun.
"Bahwa pengaturan umum yang ditetapkan dalam Pasal 29 huruf (e) UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas UU Nomor 30 Tahun 2002, apabila dikaitkan dengan posisi pemohon yang saat ini aktif sebagai wakil ketua merangkap anggota pimpinan KPK kontradiktif dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 yang menjelaskan Pimpinan KPK memegang jabatan 4 tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan," ucap Ghufron dalam permohonannya.
Dengan demikian, kata dia, ketentuan Pasal 29 huruf (e) UU KPK dimaksud meniadakan hak untuk dipilih kembali menjadi pimpinan KPK untuk sekali masa jabatan selanjutnya sebagai diatur dalam Pasal 34 UU KPK sehingga ketentuan Pasal 29 huruf (e) UU KPK melanggar hak konstitusional untuk mendapatkan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.
Dalam petitumnya, Ghufron meminta Majelis Hakim MK untuk menjatuhkan putusan, yakni mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya, menyatakan pada Pasal 29 huruf (e) UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally in constitutional) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai dengan "berusia paling rendah 50 tahun atau berpengalaman sebagai pimpinan KPK dan paling tinggi 65 tahun pada proses pemilihan".
Selanjutnya, memerintahkan untuk memuat putusan ini dalam berita negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya atau dalam hal mahkamah berpendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya (ex aequo et bono). Ghufron mengajukan gugatan itu pada Kamis (10/11/2022) melalui kuasa hukumnya, yaitu Walidi, Mohamad Misbah, dan Periati Br Ginting yang tergabung pada Law Office WALLY.ID and Partners.