REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG – Kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Talangsari Lampung diungkap lagi. Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM (PPHAM) bentukan Keppres Nomor 17 tahun 2022 kembali turun ke Lampung untuk mengumpulkan data-data korban kekerasan aparat di Dusun Talangsari III, Kelurahan Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Tengah pada 7 Februari 1989.
Ketua Tim Pelaksana PPHAM Makarim Wibisono mengatakan, tim sedang bekerja mengumpulkan kembali data-data valid terkait dengan korban kekerasan yang terjadi di Dusun Talangsari 33 tahun silam. Tim akan menemui warga korban, dan juga elemen terkait dalam rangka mencari data korban valid dari berbagai sumber.
“Keppres 17/2022 ini tidak menutup mengenai proses penyelesaian yudisial. Kita ingin mengatasi masalah ini dari kacamata dan perspektif korban,” kata Makarim Wibisono seusai diskusi mengenai Kasus Talangsari di Bandar Lampung, Selasa (15/11/2022).
Dia mengatakan, penyelesaian kasus kemanusia Talangsari juga akan mendorong penyelesaian secara yudisial. Ia juga sudah memberikan alasan bergabung dengan tim ini kepada Menkopolhukam terkait penyelesaian yudisial dan nonyudisial.
Tim PPHAM bekerja untuk menuntaskan pendataan korban pelanggaran HAM Talangsari hingga akhir tahun 2022. “Rekomendasinya akan diserahkan kepada presiden pada 31 Desember 2022,” kata Makarim.
Kasus Pelanggaran HAM di Talangsari klimaksnya saat dibunuhnya Kapten Soetiman saat kunjungan Muspika di Cihedeung, Talangsari III, pada Februari 1989. Terjadi bentrok fisik antara rakyat dan jamaah pondok pimpinan Warsidi dengan aparat militer dan polisi, yang menimbulkan korban jiwa dan hilang. Warsidi ditembak, dan pondok/rumah kampung Warsidi dibakar.
Dalam diskusi yang dimoderatori Fadilasari, yang juga pernah menulis buku tentang Kasus Talangsari menghadirkan nara sumber Tim PPHAM Makarim Wibisono dan Zainal Arifin Mochtar, Ketua Komite Solidaritas Masyarakat Lampung (Smalam) Fikri Yasin, Dosen FH Universitas Lampung (Unila) Dr Tisnanta, Sekretaris Kesbangpol Pemkab Lampung Timur Chepy, LBH, dan juga para jurnalis.
Ketua Komite Smalam Fikri Yasin mengatakan, terbentuknya tim PPHAM berdasarkan Keppres Nomor 17/2022 sudah jelas akan melakukan penyelesaian kasus pelanggaran HAM secara nonyudisial. “Kami menolak tim PPHAM Keppres 17 ini, karena jelas tidak ada penyelesaian secara yudisial,” kata Fikri Yasin.
Ia mengatakan, kalau ingin menyelesaikan kasus yang sudah puluhan tahun ini hanya dengan menerbitkan Keppres 17/2022 yang tertera dilakukan secara nonyudisial, hal itu justru tidak menyelesaikan masalah intinya.
Menurut dia, masalah intinya sudah jelas karena Komite Smalam dan lembaga lain sudah memiliki data akurat dan valid, terkait pelanggaran HAM di Talangsari tahun 1989. “Kami sudah punya bukti jelas berapa korban, kuburannya, dan juga siapa pelakunya,” kata Fikri Yasin.
Terkait ingin memberikan rasa keadilan bagi korban HAM, dia mengatakan Keppres Nomor 17 Tahun 2022 dicabut dulu, baru semua elemen terkait duduk bersama untuk menyelesaikan kasus ini secara yudisial dan nonyudisial, karena data yang telah dikumpulkan sudah ada.
Tisnanta, dosen Unila, berharap tim PPHAM yang turun ke Lampung dapat mendengarkan secara rinci apa yang terjadi pada keluarga korban pelanggaran HAM di Cihedeung, Talangsari.
“Kalau ada anggota tim yang pesimistis kasus ini dibawa ke ranah yudisial, artinya saya dan kita juga akhirnya pesimistis bisa selesai,” kata Tisnanta, yang sejak lama fokus dalam kasus Talangsari.