REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI, Putu Supadma Rudana, menilai parlemen memainkan peran penting memastikan akuntabilitas dan transparansi pembiayaan iklim melalui fungsi pembuatan undang-undang serta penganggaran.
Karena itu, menurutnya tugas parlemen untuk memastikan pencapaian kemajuan dan integritas lingkungan serta keselarasan dengan komitmen yang dibuat. "Apa yang dikatakan di ruang negosiasi harus mencerminkan kondisi nyata di lapangan. Untuk itu kita harus bertindak sekarang, bersama-sama dan dengan komitmen penuh," kata Putu dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (15/11).
Hal itu dikatakan Putu dalam acara "Conference of Parties" (COP27), Badan PBB untuk Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC), di Sharm El Sheikh, Mesir. Putu mengatakan di 2022, seluruh dunia memiliki tantangan berat untuk pendanaan iklim, misalnya COP26 tahun 2021, seluruh parlemen dunia menyaksikan negara-negara maju gagal memenuhi janji sebesar 100 miliar dolar AS per-tahun mulai tahun 2020 dan seterusnya.
"Baru-baru ini pada COP27, kita menyaksikan rencana aksi ambisius dari Sekjen PBB yang menyerukan investasi awal yang ditargetkan sebesar 3,1 miliar dolar AS, antara tahun 2023-2027 untuk menyelamatkan nyawa dan melindungi mata pencaharian yang terdampak perubahan iklim," ujarnya.
Putu mendorong penguatan upaya implementasi pendanaan yang telah disepakati pada COP sebelumnya, karena kegiatan di Paris telah memberikan dunia dasar kesepakatan terkait perubahan iklim. Dia berharap agar COP tidak hanya menjadi ajang untuk berdiskusi tanpa hasil yang konkret, karena sumber daya keuangan dan investasi yang baik diperlukan untuk mengatasi perubahan iklim.
"Hal itu untuk mengurangi emisi, mendorong adaptasi terhadap dampak yang sudah terjadi, dan untuk membangun ketahanan," katanya.
Saat ini menurutnya, beberapa negara menghadapi banyak krisis seperti dampak gabungan dari pandemi, krisis iklim, masalah kemanusiaan di seluruh dunia, dan efek dari renggangnya tatanan internasional berbasis aturan. Namun dia percaya bahwa transfer teknologi dan pembiayaan merupakan hal yang penting untuk menjawab tantangan terkait perubahan iklim.
"Ini harus sejalan dengan semangat keadilan iklim dengan memiliki pendekatan aksi iklim yang berpusat pada manusia," ujarnya.
Dia mengungkapkan bahwa laporan IPCC tahun 2022 telah menyoroti salah satu rintangan terbesar untuk adaptasi, yaitu akses yang tidak memadai terhadap pendanaan iklim.
Hal itu menurut dia karena negara-negara kaya tidak menyediakan pendanaan iklim yang cukup untuk membantu negara-negara berpenghasilan rendah beradaptasi dengan iklim yang berubah cepat.
"Janji 100 miliar dolar AS untuk perubahan iklim tidak boleh hanya menjadi sekedar janji namun harus diwujudkan melalui tindakan. Kita perlu meningkatkan kerja sama dan koordinasi untuk memastikan bahwa janji tersebut akan dipenuhi," katanya.
Selain itu Putu mengatakan untuk mengatasi masalah pendanaan iklim, perlu melibatkan sektor swasta karena dapat menjadi mitra penting pemerintah dalam mewujudkan kerjasama pembangunan yang efektif dalam isu lingkungan.