Apokaliptik dikaitkan dengan kasus meninggalnya keluarga di Citra Garden.
Kriminolog Adrianus Meliala menduga keluarga yang meninggal di Citra Garden menganut apokaliptik. Meski tak yakin ada orang yang bisa melakukannya, karena memerlukan waktu lama yang menyakitkan, Meliala menduga keluarga itu mencoba mengakhiri hidupnya dengan melaparkan diri. Oohya?
Lalu, Meliala memberikan dugaan lainnya, bahwa kemungkinan besar mereka mengalami pelaparan, yaitu adanya pihak-pihak yang membuat mereka lapar dengan cara tidak memberi mereka akses terhadap pangan. Berdasarkan hasil penyelidikan sementara, polisi menyatakan mereka meninggal bukan karena kelaparan.
Meliala menyebut, jika itu adalah praktik apokaliptik, praktik semacam itu pernah terjadi di Guyana pada 1978. Tapi 900-an orang yang meninggal di Guyana pada “malam putih” 1978 itu tidak melakukannya dengan melaparkan diri. Melainkan dengan meminum racun.
Mengakhiri hidup dengan melaparkan diri penah terjadi pada abad ke-13 di Prancis, dilakukan oleh sekte Albigensia dan Cathars. Mereka, menurut Charles A Krause, menghindari kebendaan. “Kepuasan spiritual dicari dengan membunuh diri melalui cara melaparkan diri,” tulis Krause yang pada 1980 menulis Guyana Tragedy: The Story of Jim Jones (1980). Versi Indonesia diterbitkan dengan judul Maut di Guyana.
Di abad pertama, yaitu pada tahun 73, menurut catatan Krause, ada seribu orang Yahudi pembela benteng Massada melakukan bunuh diri. Mereka tidak mau menyerah kepada pasukan pengepung Romawi.
Praktik apokaliptik di masa lalu diwujudkan sebagai perlawanan terhadap sesuatu. Mati lebih memuaskan daripada menyerah. Bangsa Indian pernah mengalami kekejaman dari bangsa Spanyol. Untuk menghindari kekejaman itu, sekitar 4.000 orang Indian melakukan bunuh diri masal dengan cara terjun ke jurang dan juga saling membunuh di antara mereka.
Ketika The Sorrows of Young Wethers karya Goethe diterbitkan, kata Krause, Eropa memasuki episode baru. Aksi bunuh diri seperti yang dilakukan oleh Wether terjadi di mana-mana. Pada 1970, di Prancis masih ada peristiwa para mahasiswa mengakhiri hidupnya sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan politik pemerintah yang tidak mereka setujui.
“Betapapun irasionalnya tindakan-tindakan ini, tetapi mereka benar-benar sadar. Lalu bagaimana dengan kelompok Peoples Temple?” tanya Krause. Setelah peristiwa bunuh diri missal kelompok Peoples Temple, polisi melakukan penyelidikan, para ahli membuat analisis mengenai motif. Persis seperti kasus setelah ada oeristiwa meninggalnya keluarga di Citra Garden.
Oohya! Krause dan Frank Johnson merupakan wartawan Washinton Post yang berhasil masuk Jonestown sebelum peristiwa bunuh diri masal. Jonestown sulit ditembus dari dunia luar karena penjagaan ketat pengikut Jim Jones. Jonestown adalah kota yang dibangun Jones dan para pengikutnya di tengah hutan Guyana.
Peoples Temple dipimpin oleh pendeta James Warren Jones (Jim Jones). Sewaktu masih mukim San Francisco, California, sekte ini mendapat serangan bertubi-tubi dari politisi di Kongres. Lalu mereka pindah ke Ukiah, masihd I California, baru kemudian ke tengah hutan Guyana. Menganut sosialisme, materi tak menjadi masalah bagi mereka. Anggota Kongres Leo J Ryan “mengejar” mereka ke Guyana. Tapi Ryan mengalami nasib naas. Ia bersama dengan anggota rombongannya, yaitu Don Harris, Bob Brown, Greg Robinson, dan Nyonya Parks, dibunuh oleh pengikut Jones. Lalu, karena Ryan sudah meninggal, maka Jones pun mengajak para pengikutnya untuk menyudahi hidup.
Sebelum sampai tahap ini, Jones meminta para pengikutnya untuk belatih di setiap “malam putih” dalam upacara keagamaan. Sebutan “malam putih” adalah sebutan untuk kondisi darurat yang diumumkan oleh Jones dengan cara membunyikan sirine. Para pengikut Jones di Jonestown akan berduyun-duyun ke suatu tempat. Rumah-rumah kemudian diperiksa, untuk melihat ada tidaknya pengikut yang membangkang.
Dalam setiap latihan itu, Jones mengatakan jika kondisinya sudah semakin gaat. Satu-satunya jalan keluar dari situasi gawat itu adalah bunuh diri masal demi kejayaan sosialisme. Setiap orang lalu menerima gelas kecil berisi cairan merah. Harus diminum. Dan diumumkan bahwa dalam empat puluh lima menit semua orang akan mati.
Ini bagian dari cara untuk menguji kesetiaan pengikutnya. Yang tidak minum akan disiksa, seperti yang terjadi pada abad ke-4 dan ke-5, yang dilakkan oleh kelompok Donatis. Mereka akan mencegat orang di jalan, menawari bunuh diri dengan janji diberi hadiah. Jika menolak, diancam akan dibunuh saat itu juga.
Sebelum 18 November 1978, sudah banyak yang melarikan diri dari Jonestown, tapi tak semua berhasil. Hingga akhirnya, berbagai latihan itu berujung pada “pertempuran” yang sebenarnya pada 18 November 1978. Lebih dari 900 anggota Peoples Temple, dari orang dewasa hingga anak-anak mencapai kepuasan dengan cara bunuh diri. Mereka meninggal setelah menenggak racun.
Selama proses menjemput ajal itu, suasana histeris. Anak-anak menangis. Pada malam putih itu, kata Krause, masih ada sekitar 300-800 pengikut Jones yang melarikan diri, tidak mau mengikuti prosesi bunuh diri.
Ma Roejan