REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Wanita Inggris paling terdampak krisis biaya hidup yang tidak proporsional. Kalangan yang paling terpengaruh krisis biaya hidup di Inggris ini adalah para wanita Muslim, sebagaimana laporan yang disampaikan Yayasan Zakat Nasional Inggris.
Perdana Menteri Inggris yang baru Rishi Sunak mengumumkan dia akan berkomitmen mendukung pihak yang paling rentan. Ia juga berjanji menawarkan dukungan kepada mereka yang kesulitan membayar tagihan energi.
Namun menurut CEO National Zakat Foundation Sohail Hanif, dengan tingkat inflasi saat ini, banyak wanita Muslim yang hampir tidak bisa menyediakan makanan untuk keluarga mereka. Sekitar setengah dari populasi Muslim Inggris sudah hidup di garis kemiskinan pascapandemi, meskipun memiliki pekerjaan berbayar.
"Dan dengan tingkat inflasi yang naik ke tingkat tertinggi, dikhawatirkan semakin banyak komunitas kita yang akan menghadapi garis kemiskinan," ujarnya, seperti dilansir The New Arab, Rabu (16/11).
Fatima, wanita Muslim berusia 36 tahun yang merupakan ibu tunggal dari dua anak Inggris merasakan krisis tersebut. Dia terpaksa mematikan pemanas untuk menghindari tagihan.
"Ketika anak-anak saya di sekolah, saya mematikan pemanas selama berjam-jam, memakai setidaknya dua jumper dan menyelimuti saya. Kadang-kadang saya pergi ke luar, ke toko atau ke masjid hanya untuk menghangatkan badan. Saya menyalakan pemanas setidaknya 1,5 jam sebelum anak-anak saya pulang karena saya khawatir tidak akan mampu membayar tagihan di akhir bulan," katanya.
Fatima mengatakan, apa yang dialami ini bukan cara yang baik untuk hidup dan hal yang dirasakannya memengaruhi kesehatan mentalnya. Apalagi dia sendirian dalam mengasuh anak-anaknya dan tidak memiliki siapa pun yang dapat ditemui.