Kamis 17 Nov 2022 05:15 WIB

Pemerintah Swedia Dituduh Larang Sekolah Islam

Pemerintah Swedia dituding terus menutup institusi akademik Islam.

Rep: Alkhaledi Kurnialam/ Red: Muhammad Hafil
Pemerintah Swedia Dituding Larang Sekolah Islam. Foto:   Islamofobia (ilustrasi)
Foto: Bosh Fawstin
Pemerintah Swedia Dituding Larang Sekolah Islam. Foto: Islamofobia (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,LONDON–Meskipun banyak sekolah-sekolah Islam dengan prestasi yang baik, pemerintah Swedia terus menutup institusi akademik Islam. Sebuah upaya yang dikritisi bertujuan untuk mendorong "retorika anti-Islam" dan "menghentikan privatisasi" dalam pendidikan.

Awal tahun ini, Menteri Pendidikan Lena Axelsson Kjellblum mengatakan, pemerintahnya telah memperkenalkan undang-undang yang bertujuan untuk "melarang pendirian apa yang disebut sekolah agama independen."

Baca Juga

RUU tersebut pada dasarnya mencegah sekolah untuk berkembang dengan meningkatkan jumlah siswanya atau membuka cabang baru mulai tahun 2024 dan seterusnya.

Dilansir dari Anadolu Agency, Rabu (16/11/2022), sejauh ini, hanya sekolah Islam yang menjadi sasaran undang-undang tersebut yang memicu protes dari organisasi, peneliti, dan sekolah Muslim.

Hal ini dengan alasan bahwa keputusan untuk menutup sekolah Islam tidak didasarkan pada hasil akademik yang buruk atau kekurangan pengajaran lainnya, tetapi lebih bersifat politis dan motif anti Islam.

Mohamed Amin Kharraki, Kepala Sekolah Muslim independen Framstegsskolan di pinggiran Ragsved Stockholm mengatakan, sekitar 20 sekolah yang mengklasifikasikan diri mereka sebagai Islam atau yang dimiliki oleh Muslim ditutup dengan hanya tiga yang tersisa yang mengajukan tuntutan hukum terhadap mereka.

Mei lalu, inspektorat sekolah negara itu mengumumkan akan menutup Framstegsskolan. Namun, pihak sekolah memenangkan banding dan PTUN mengatakan keputusan tersebut seharusnya tidak berlaku lagi, sambil menunggu putusan.

Keputusan dibuat atas 'klaim konspirasi'

Keputusan inspektorat untuk menutup sekolah tersebut didasarkan pada laporan oleh Dinas Keamanan Domestik Swedia SAPO dengan "klaim konspirasi" tentang kelompok Ikhwanul Muslimin.

Tuduhan disematkan seperti agenda rahasia, dan dugaan label teror yang membuat beberapa peneliti bingung.

"Jika saya tidak memiliki latar belakang penelitian yang saya miliki, bahwa saya mempelajari dan meneliti Ikhwanul Muslimin, saya akan takut pada kegelapan. Pada dasarnya saya takut pada semua pemimpin Muslim di Swedia," kata outlet berita lokal Syre mengutip Emin Poljarevic, seorang Profesor di bidang sosiologi agama.

Prasekolah Islam juga ditargetkan

 

Prasekolah Saimagarden di distrik Akalla Stockholm, juga dijalankan oleh Framstegsskolan, ditutup Agustus lalu karena klaim SAPO bahwa anak-anak berisiko radikalisasi. Namun, pengadilan membatalkan langkah tersebut dan prasekolah tetap buka sampai putusan akhir dikeluarkan.

Kharraki menyatakan bahwa SAPO tidak menyebutkan tuduhan khusus tentang kedua sekolah tersebut dalam laporannya dan malah hanya merujuk pada sumber "rahasia."

Menggarisbawahi bahaya yang ditimbulkan oleh argumen inspektorat, dia mengatakan bahwa jika sebuah sekolah dituduh menempatkan anak-anak dalam risiko radikalisasi, tanpa bukti nyata atau kejadian masa lalu, maka sangat sulit pihak yang dituduh untuk membela diri.

"Tapi sebenarnya, karena tidak ada yang benar-benar terjadi. Itu adalah sesuatu yang mungkin terjadi,"katanya.

Menurut Kharraki, inspektorat sekolah tidak pernah mengunjungi Framstegsskolan untuk mengamati dugaan radikalisasi dan menolak mempertanyakan laporan SAPO.

Agenda anti-Muslim

Sead Busuladzic, anggota dewan partai politik Nyans dan pejabat puncaknya di daerah paling Selatan Skane mengatakan, penutupan sekolah bukan tentang pendidikan, tetapi tentang iklim politik anti-Muslim.

Dia menunjukkan bagaimana partai-partai sayap kanan yang saat ini berkuasa secara eksplisit mengatakan bahwa mereka tidak menentang aliran Kristen, Yahudi, atau lainnya.

Politisi yang dalam kata-katanya, menormalkan Islamofobia dan mempersulit hidup minoritas, hanya menyuarakan masalah dengan sekolah Islam, seharusnya "menghentikan radikalisasi." Dengan melakukan itu, mereka "mempengaruhi pendapat umum dan bagaimana Muslim dipandang."

Busuladzic menjelaskan bahwa pada awalnya, Sosial Demokrat yang mendorong masalah ini, karena mereka "menentang semua sekolah swasta", dan berpendapat bahwa negara harus menjalankan semua institusi pendidikan. Namun dalam praktiknya, hanya sekolah Islam yang menanggung beban bahkan dari kebijakan Sosial Demokrat, meskipun konon mereka menentang pendidikan swasta secara umum.

Dalam pemilihan sebelumnya, alih-alih berfokus pada isu-isu seperti ekonomi dan pengangguran yang tinggi, para politisi telah menyuburkan sentimen anti-Muslim, katanya, menunjukkan bahwa penutupan sekolah merupakan cerminan dari hal ini.

Ketika RUU itu pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah, diklaim bahwa semua sekolah agama akan terpengaruh. Namun kenyataannya, tidak demikian karena tidak ada sekolah agama lain yang ditutup kecuali sekolah Islam. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement