REPUBLIKA.CO.ID, Oleh USTADZ DR ONI SAHRONI*
Ada sejumlah adab utang-piutang yang diatur dalam Islam.
Pertama, kreditur (pemberi utang) berhak memenuhi permintaan debitur (orang yang berutang) atau tidak memenuhi permintaannya.
Jadi, saat debitur meminta pinjaman atau membutuhkan pinjaman kepada kreditur, ia berhak untuk memenuhi keinginannya ataupun tidak. Seperti peruntukan pinjaman untuk kebutuhan pelengkap.
Kedua, bagi debitur, keputusan untuk meminjam dan berutang itu hanya boleh dilakukan saat peruntukannya adalah peruntukan yang halal dan prioritas (kebutuhan dasar) serta memiliki iktikad kuat untuk melunasi kewajiban sesuai dengan perjanjian.
Iktikad tersebut dilakukan dengan ikhtiar untuk memiliki kemampuan seperti menabung, sederhana dalam penampilan, dan meningkatkan kemampuan pendapatan
Ketiga, kreditur dan debitur harus menyepakati perjanjian kredit yang halal dan terhindar dari transaksi yang terlarang, khususnya kredit ribawi. Kreditur tidak boleh mensyaratkan nominal atau manfaat tertentu yang harus dibayarkan oleh debitur melebihi pokok pinjaman karena itu dikategorikan sebagai riba yang dilarang dalam Islam.
Namun, sebaliknya, jika perjanjiannya adalah qardh al-hasan tanpa ada lebih nominal yang harus dibayarkan, debitur diperbolehkan untuk membayar melebihi pokok pinjamannya atas inisiatif sepihak. Sebagaimana hadis Rasulullah SAW: “…Sesungguhnya, sebaik-baiknya kalian adalah yang paling baik ketika membayar utangnya” (Mutafaq ’alaih).
Keempat, kreditur dan debitur menuangkan perjanjian kredit secara tertulis, disepakati, dan ditandatangani (bermeterai). Lebih baik lagi jika ada saksi yang memberikan kesaksian atas perjanjian tersebut, sebagaimana firman Allah SWT:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...” (QS al-Baqarah [2]: 282). Dan firman Allah SWT: “... Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu)...” (QS al-Baqarah [2]: 282).
Kelima, kreditur juga berhak untuk meminta jaminan kepada debitur agar kreditur merasa safety bahwa uangnya akan dikembalikan tepat waktu. Sebaiknya terkait dengan jaminan ini ada klausul yang dituangkan tertulis dalam perjanjian bahwa saat debitur tidak mampu melunasi kewajibannya, menjadi hak kreditur untuk menjual jaminan tersebut dan hasilnya akan digunakan untuk menutupi pokok pinjaman.
Keenam, debitur berkewajiban membayar utang atau kewajibannya sesuai dengan temponya. Saat punya kemampuan untuk membayar sebelum waktunya, itu lebih baik dan bagian dari husnul adab.
Ketujuh, saat debitur menghadapi kesulitan bayar, dialah yang berinisiasi untuk menyampaikan alasan dan kondisinya kepada kreditur. Bagi kreditur yang mendapatkan informasi kesulitan bayar, ia berhak untuk memberikan keringanan dalam bentuk restrukturisasi, misalnya, tanpa menambah pokok pinjaman, sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan jika (orang yang berutang itu) dalam kesukaran, berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui” (QS al-Baqarah [2]: 280).
Selanjutnya, jika sudah diberikan kemudahan tetapi tidak membayar, ia berhak untuk menjual atau mengeksekusi jaminan untuk diambil sebesar pokok pinjaman. Wallahu a’lam.
*Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia