Prof Haedar: 2024 Harus Jadi Transformasi Kebangsaan
Rep: Wahyu Suryana/ Red: Muhammad Fakhruddin
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir (kanan) menyampaikan paparan persiapan pembukaan Muktamar ke-48 di PP Muhammadiyah, Yogyakarta, Rabu (16/11/2022). Pembukaan Muktamar ke-48 Muhammadiyah rencananya pada Sabtu (19/11/2022) di Stadion Manahan, Surakarta dan akan dibuka oleh Presiden Joko Widodo. Sekitar 17 ribu undangan dan penggembira akan meramaikan pembukaan nanti. | Foto: Republika/Wihdan Hidayat
REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Prof Haedar Nashir menilai, pemilu 2024 perlu dilihat bukan hanya sebagai kontestasi politik. Ia menegaskan, Muhammadiyah meletakkan itu sebagai proses transformasi kebangsaan.
"Kita perlu perhatian kepada 2024 bukan hanya sebagai kontestasi politik, tapi Muhammadiyah meletakkannya sebagai proses transformasi kebangsaan. Di mana, sudah lebih dari cukup reformasi ini membawa proses demokratisasi yang liberal," kata Haedar di Kantor PP Muhammadiyah Yogyakarta, Rabu (16/11/2022).
Haedar merasa, setelah reformasi, Indonesia sudah harus menempatkan diri dalam proses transformasi kebangsaan. Ia mengingatkan, jangan sampai Indonesia nanti malah seperti kehilangan visi-visi masa depan yang menyangkut kenegarawanan.
Ia menekankan, siapapun yang nanti terpilih harus secara kolektif membuka lagi lembaran konstitusi kita dan sejarah bangsa. Baik itu presiden, wakil presiden, legislatif atau Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Sehingga, mereka itu betul-betul paham kalau bahtera Indonesia bukan hanya soal kemenangan politik dan demokratisasi Tapi, nilai-nilai dan cita-cita kebangsaan yang sejak awal telah diletakkan langsung oleh pendiri-pendiri bangsa Indonesia.
Maka itu, ia mengungkapkan, melalui momentum Muktamar 48 ini Muhammadiyah turut memperkenalkan dua buku sebagai perspektif para calon. Ada Visi Karakter Bangsa, Indonesia Berkemajuan dan Dokumen Negara Pancasila Darul Ahdi wa Syahadah.
Haedar mengingatkan, siapapun calon-calon yang nanti menemui dan ditemui Muhammadiyah akan diajak untuk menyadari di balik kontestasi ini mereka harus paham a, b, c sampai z Indonesia. Sebab, kalau tidak nanti malah akan terjadi dislokasi politik.
"Mereka yang ingin meraih kekuasaan tapi lupa pondasi kita berbangsa, termasuk apa yang oleh Bung Karno disebut sebagai weltanschauung atau philosophische grondslag, pandangan hidup kebangsaan kita ini," ujar Haedar.
Dengan cara itu, lanjut Haedar, Muhammadiyah akan lebih mengarahkan apa yang sebenarnya senantiasa disebut sila keempat Pancasila. Yaitu, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan perwakilan dalam permusyawaratan, perwakilan.
Bagi Muhammadiyah, pemilu 2024 tidak sekadar formalisme pimpinan. Sebab, dari manapun, siapapun, dia harus milik rakyat dan kita harus melakukan kontrol. Jika tidak, bukan lagi kepemimpinan kenegarawanan, tapi kepemimpinan perkauman.
Mereka yang berasal dari partai a hanya mengurus partai a dan cuma mau menampung aspirasi dari partai a, yang dapat pula membuat rasa keindonesiaan mereka goyah. Menurut Haedar, mereka harus selalu ingat, setelah terpilih mereka milik rakyat.
Sudah cukup dua dekade banyak coba-coba dan ke depan harus sudah mulai siapapun, dari partai manapun, gabungan, perorangan, ajak mereka jadi pemimpin Indonesia. Misal, kalau latar belakangnya Muhammadiyah, jangan cuma mengurus Muhammadiyah.
"Kalau itu yang terjadi, nanti Indonesia tinggal menunggu saja, bagi-bagi kue kekuasaan, yang rakyat banyak tidak memperolehnya. Jadi, itu harapan kita," kata Haedar.