REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia diyakini masih membutuhkan minyak dan gas bumi (migas) dalam beberapa tahun ke depan sejalan dengan transisi energi yang tengah terjadi. Namun demikian tidak mudah untuk memenuhi kebutuhan energi, apalagi realisasi produksi migas cenderung stagnan bahkan menurun.
Perlu ada usaha ekstra serta kolaborasi dari semua pihak untuk menjamin upaya peningkatan produksi bisa berjalan secara berkelanjutan. Djoko Siswanto, Sekretaris Jendral Dewan Energi Nasional (DEN), mengungkapkan migas masih dominan untuk memenuhi kebutuhan, sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) maupun Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Hingga kini bauran EBT kata dia masih berkisar 12 persen, sementara tahun 2025 targetnya bisa mencapai 23 persen. Apabila EBT belum siap maka migas masih sangat diperlukan.
"Khususnya untuk transisi kita juga sekarang masih pakai BBM transportasi dan lainnya sehingga minyak dan gas masih diperlukan untuk kurangi impor untuk memenuhi kilang kita. Kapasitas eksisting 1 juta, 50 persen masih impor jadi industri hulu migas masih sangat penting," tegas Djoko di Jakarta, Kamis (17/11/2022).
Menurut Djoko dominasi energi fosil baik itu migas maupun batu bara tidak bisa dihindari. di sisi lain untuk antisipasi isu lingkungan dari penggunaan energi fosil itu maka teknologi harus digunakan untuk menekan emisi yang dihasilkan.
Hadi Ismoyo, Praktisi Migas yang juga mantan Sekretaris Jendral Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), menyatakan dengan masih akan tingginya permintaan migas, maka kolaborasi demi menciptakan iklim investasi di sektor hulu migas dengan tujuan untuk bisa meningkatkan produksi migas sangat penting dan tidak bisa ditawar. “Kolaborasi ini sangat penting antara semua stakeholder agar tidak kehilangan momentum,” kata Hadi.
Salah satu wadah kolaborasi tersebut misalnya “3rd International Convention on Indonesian Upstream Oil and Gas 2022” (IOG 2022).
Hadi menyambut positif kegiatan tersebut. Menurutnya, IOG Convention tahun ini harus dimanfaatkan betul oleh pelaku usaha migas tanah air untuk berkolaborasi menghasilkan suatu gagasan atau ide baru yang kongkret untuk diimplementasikan.
“Membuat regulasi yg kongkret dalam bentuk Permen atau Kepmen yang langsung bisa di tindak lanjuti segera untuk meningkatkan produksi nasional,” ujar dia.
Ada tiga bagian besar konsep yang akan dibawakan dalam acara IOG 2022, yaitu Economic Recovery, Energy Security, dan Energy Transition. Hal itu tentu sejalan dengan program-program dan target pemerintah Indonesia yang lebih berkelanjutan. Konsep tersebut merupakan kesinambungan dari dua acara IOG sebelumnya.
Dengan target peserta tahun 2022 mencapai 10.000 peserta online dan 1000 peserta offline dengan jumlah pembicara mencapai lebih dari 120 pembicara, maka IOG boleh dikatakan sebagai satu poros penting bagi industri migas dalam usaha untuk mencapai target produksi minyak 1 juta barel per hari dan gas 12 BSCFD di tahun 2030.
Menurut Hadi kondisi sekarang ini makin membuktikan eksistensi migas masih sangat diperlukan. Dimulai dari negara-negara eropa yang notabena lebih dulu mengembangkan Energi Baru Terbarukan (EBT) dan menjalar ke belahan dunia lainnya,saat ini ancaman krisis energi sejak adanya pandemi Covid-19 serta perang Rusia Ukraina terus membayangi dan sudah ada didepan mata.
Fenomena Krisis energi global saat ini dipicu oleh ketegangan geopolitik, kecenderungan peningkatan tensi geopolitik akan tetap terjadi pada masa kini dan masa yang akan datang yang berdampak terhadap lonjakan harga migas dan memicu kembali terjadinya krisis energi global.
Hadi menegaskan peran migas masih sangat penting dalam jangka panjang, katakanlah sampai EBT mampu 100 persen menggantikan fosil. Namun yang harus diingat bahwa peran EBT hanya mampu menggantikan fungsi fosil untuk sektor power atau tenaga listrik.
“Sedangkan sektor petrokimia dan turunannya, belum tergantikan dalam waktu yang lama,” ujar Hadi.
Dia berharap gelaran IOG yang diikuti stakeholder di industri hulu migas bisa menghasilkan kesimpulan konkret, dalam bentuk regulasi misalnya untuk dijalankan sehingga bisa berdampak bagi kinerja produksi migas nasional. “Kemudian membentuk organization capability yang tajam di tingkat SKK Migas dan KKKS untuk mengerjakan dan memonitor semua langkah-langkah kongkret peningkatan produksi dengan time line dan budget dan resoureces mapping-nya,” ujar Hadi.
Salah satu yang bisa disinggung adalah terkait revisi undang-undang migas. Menurut Hadi revisi UU Migas sangat penting untuk segera dibahas dan diterbitkan. Hal itu akan jadi faktor kunci juga demi tercapainya target produksi migas tahun 2030 mendatang. “Jadi cantolannya bisa lebih kuat bahwa 1 juta barrel 12 bscfd gas ini program nasional, urgent sekali (revisi UU Migas),” kata dia.
Sementara itu, Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch, menilai ada beberapa kunci untuk meningkatkan gairan iklim investasi hulu migas seperti perbaikan kebijakan fiskal, lalu bagi hasil, keterbukaan data migas. Lalu masalah klasik berupa perizinan serta isu transisi energi. Akan tapi bagi Indonesia saat ini yang sangat krusial adalah fundamental kepastian hukum.
“Ini sebenarnya menjadi inti masalah investasi migas di Indonesia yaitu revisi UU Migas yang tidak kunjung selesai. Padahal, jika kendala diatas bisa dimasukan ke dalam revisi UU Migas maka bisa sangat menarik bagi investor termasuk posisi SKK Migas ke depannya,” jelas Mamit.
Momen IOG Convention menurut dia bisa menjadi salah satu upaya untuk menarik investor. Apalagi IOG punya misi khusus untuk mensukseskan target 1 juta BPH dan 12 BSCFD pada tahun 2030. Pada saat IOG convention nanti paling tidak bisa menghasilkan kesimpulan yang bisa meyakinkan pemerintah poin apa saja yang perlu diperbaiki dan fasilitas fiskal, izin dan lainnya dalam mengundang investasi migas.
“IOG harus bisa menjadi media penengah sekaligus antara kepentingan pemerintah dan pengusaha. IOG harus mampu memberikan rekomendasi kepada pemerintah,” jelas Mamit.