REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN – Menteri Luar Negeri Iran Hossein Amirabdollahian menuduh Israel dan dinas intelijen Barat berusaha memecah negaranya, kemudian menyeretnya ke perang saudara. Tuduhan itu disampaikan saat Iran masih dibekap gelombang unjuk rasa memprotes kematian Mahsa Amini.
“Berbagai dinas keamanan, Israel dan beberapa politisi Barat yang telah membuat rencana untuk perang saudara, penghancuran dan disintegrasi Iran, harus tahu bahwa Iran bukanlah Libya atau Sudan,” kata Amirabdollahian lewat akun Twitter resminya, Kamis (17/11/2022).
Saat ini aksi protes di Iran telah berubah menjadi aksi kekerasan. Pada Rabu (16/11/2022) lalu, sekelompok orang bersenjata yang mengendarai sepeda motor menembak beberapa anggota pasukan keamanan Iran di Isfahan. Kejadian itu menewaskan dua orang dan melukai delapan orang lainnya.
Sejak gelombang demonstrasi pecah pada September lalu, Iran dilaporkan telah menangkap 14 ribu orang. Banyak di antaranya telah diadili. Anggota parlemen Iran kini menyerukan agar para pengunjuk rasa dihukum mati. Sebanyak 227 dari total 290 anggota parlemen telah membuat pernyataan bersama yang menyatakan para demonstran sebagai “mohareb”.
Mohareb dapat diartikan sebagai “musuh Tuhan”. Di Iran, sebutan atau label tersebut membawa ancaman hukuman mati. Sejumlah demonstran di Iran telah didakwa sebahai mohareb. Namun sejauh ini belum ada pengumuman resmi tentang hukuman mati.
Krisis yang kini membekap Iran berpangkal pada tewasnya Mahsa Amini, seorang perempuan berusia 22 tahun. Pada 13 September lalu, dia ditangkap polisi moral Iran di Teheran. Penangkapan tersebut dilakukan karena hijab yang dikenakan Amini dianggap tak ideal. Di Iran memang terdapat peraturan berpakaian ketat untuk wanita, salah satunya harus mengenakan hijab saat berada di ruang publik.
Setelah ditangkap polisi moral, Amini ditahan. Ketika berada dalam tahanan, dia diduga mengalami penyiksaan. PBB mengaku menerima laporan bahwa Amini dipukuli di bagian kepala menggunakan pentungan. Selain itu, kepala Amini pun disebut dibenturkan ke kendaraan.
Setelah ditangkap dan ditahan, Amini memang tiba-tiba dilarikan ke rumah sakit. Kepolisian Teheran mengklaim, saat berada di tahanan, Amini mendadak mengalami masalah jantung. Menurut keterangan keluarga, Amini dalam keadaan sehat sebelum ditangkap dan tidak pernah mengeluhkan sakit jantung. Amini dirawat dalam keadaan koma dan akhirnya mengembuskan napas terakhirnya pada 16 September lalu.
Kematian Amini dan dugaan penyiksaan yang dialaminya seketika memicu kemarahan publik. Warga Iran turun ke jalan dan menggelar demonstrasi untuk memprotes tindakan aparat terhadap Amini. Perempuan-perempuan Iran turut berpartisipasi dalam aksi tersebut. Mereka bahkan melakukan aksi pembakaran hijab sebagai bentuk protes.