REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Dalam hubungan intim antara suami dan istri, Islam menerapkan sejumlah norma dan etikanya. Aturan ini selaras dengan nilai-nilai kesopanan, termasuk soal berbusana saat berhubungan intim.
Seperti tertuang di hadis riwayat Ibnu Majah yang dinukilkan Imam as-Syaukani di Nail al-Auwthar. Misalnya, Nabi Muhammad meminta agar menutupi badan. Ini hukumnya makruh. “Bila salah seorang di antara kalian hendak mendatangi istrinya, pakailah penutup dan janganlah kalian berdua telanjang seperti telanjangnya keledai.”
Tapi, kata Syekh Ahmad al-Hajji al-Kurdi, anggota Komite Fikih dan Fatwa Kuwait, belakangan topik tentang etika dan tata cara bersenggema kembali menyeruak. Ini tak terlepas dari era keterbukaan informasi. Persoalan ini pada hakikatnya merupakan tema yang diperdebatkan di kalangan salaf.
Masalah ini bermuara pada sejumlah soal, antara lain, bolehkah suami melihat aurat istrinya? Mayoritas ulama berpendapat bahwa saling melihat aurat bagi kedua belah pasangan suami istri tersebut diperbolehkan. Pendapat ini mengutip uraian yang disampaikan oleh Qadhi Ibn al-Arabi yang bermazhab Maliki.
Pendapat ini merujuk pada sejumlah dalil, antara lain, surah al-Mu'minuun ayat 5 dan 6. “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. Kecuali terhadap istri-istri mereka.” Ini diperkuat dengan riwayat Aisyah yang dinukilkan oleh Bukhari. Hadis itu mengisahkan, Aisyah berkisah bahwa dirinya pernah mandi bersama Rasulullah dengan satu bejana yang sama.
Dalam Mawahib al-Jalil Syarh Mukhtashar Khalil, al-Hathab yang bermazhab Maliki mengemukakan, kalangan yang menganggap hukumnya makruh itu berdasarkan pada ilmu fikih. Jadi, tidak soal dan tidak makruh melihat aurat istri atau sebaliknya. Bahkan, Imam Malik menegaskan, saling melihat itu boleh dilakukan ketika bersenggama. “Hukumnya boleh,” kata Imam Malik.