REPUBLIKA.CO.ID, PATTANI -- Thailand telah menunjuk gubernur wanita Muslim pertama, sebuah tanda peningkatan wanita Muslim dalam politik. Pateemoh Sadeeyamu (57 tahun) telah ditunjuk sebagai gubernur baru provinsi Pattani selatan.
Kabinet Thailand menyetujui penunjukan ini pada Selasa lalu. Dengan karier selama hampir 29 tahun di Kementerian Dalam Negeri di negara mayoritas pemeluk Buddha, Sadeeyamu sebelumnya menjabat sebagai wakil gubernur provinsi Narathiwat.
"Ini adalah perkembangan yang sangat besar. Menjadi seorang Muslim dan seorang wanita memiliki banyak tantangan dalam politik Thailand,” kata Wakil Dekan Akademik, Penelitian dan Luar Negeri di Universitas Prince of Songkla, Pattani, Yasmin Sattar kepada Anadolu Agency, Rabu (16/11/2022).
"Kita bisa melihat peningkatan perempuan Muslim dalam politik,” kata Sattar.
Dari 77 provinsi, empat provinsi selatan Pattani, Yala, Narathiwat, dan Songkla telah mengalami konflik selama beberapa dekade dengan Front Revolusioner Nasional sebagai kelompok pemberontak utama. Diangkatnya Sadeeyamu sebagai gubernur provinsi dipandang sebagai penyebab persepsi positif banyak Muslim.
Menurut Sattar, ini dapat menyebabkan lebih banyak kepercayaan pada negara Thailand, yang sangat penting untuk mengakhiri konflik. Mengenai upaya perdamaian antara pemerintah Thailand dan kelompok pemberontak di wilayah selatan.
Memulai kariernya tiga dekade lalu, Sadeeyamu melayani di provinsi selatan Ranong, Yala, dan Pattani. Sadeeyamu juga menjabat sebagai direktur kantor administrasi pusat di Pusat Administrasi Provinsi Perbatasan Selatan sebelum diangkat sebagai wakil gubernur provinsi Phatthalung dan kemudian Narathiwat.
Pemberontakan di Thailand selatan berawal pada 1948 sebagai konflik etnis dan agama di wilayah sejarah Melayu Patani. Provinsi Pattani Selatan, Yala, Narathiwat, dan Songkhla memiliki komunitas Melayu-Muslim yang besar dengan 1,4 juta penduduk.
Pemerintah Thailand memberlakukan darurat militer di tiga provinsi mayoritas Muslim di Thailand selatan, yakni Pattani, Narathiwat, dan Yala, menyusul kekerasan mematikan pada 2004. Menurut kelompok pemantau Deep South Watch, lebih dari 7.000 orang tewas dan 13 ribu terluka dalam konflik bersenjata dari 2004-2020.