REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Ada agama baru, namanya ad Diyanah al Ibrahimiyah atau ad Dien al Ibrahimi alias Agama Abraham. Saya sengaja menggunakan Abraham, bukan Ibrahim.
Agama Abraham, tak ada hubungannya dengan agama tauhid yang dibawa Nabi Ibrahim alaihissalam dulu, sebelum datangnya agama Yahudi, Nasrani, dan Islam. Agama Abraham menyatukan tiga agama samawi tadi dalam satu agama.
Agama baru ini bermula dari pernyataan mantan presiden Amerika Serikat Donald Trump. Pada 13 Agustus 2020, dia, ketika itu masih presiden, menyebut normalisasi hubungan Israel-Uni Emirat Arab sebagai Abraham Accord atau Kesepakatan Abraham.
Nama ini kembali digunakan Trump untuk menyebut normalisasi hubugan Israel dan Bahrain pada 11 September 2020, Israel dan Sudan pada 23 Oktober 2020, serta Israel dan Maroko pada 10 Desember 2020.
Sejak kesepakatan Israel-UEA, lantas diikuti sejumlah negara Arab lain, muncul suara di kalangan intelektual Amerika Serikat terutama dari Peace Islands Institute, menyerukan agar negara Arab segera menormalisasi hubungan dengan negara Yahudi itu.
Normalisasi ini, mereka sebut perwujudan penyatuan tiga agama samawi di bawah satu agama yang mereka katakan Agama Abraham.
Tujuannya, membentuk negara konfederasi di bawah satu agama yang menyatukan bangsa di Timur Tengah, di bawah komando Israel.
Suara pembentukan agama baru muncul sporadis, hingga dibedah Syekh Akbar Al Azhar Mesir, Prof Syekh Ahmad Tayeb.
Dalam peringatan 10 tahun pendirian Bait al 'A-ilah al Misriyah (Rumah Keluarga Mesir) pada 8 November 2021 lalu, dalam pidatonya, pemimpin tertinggi Al Azhar itu langsung menyerang pembentukan Agama Abraham.
Menurut dia, pembentukan agama baru justru merampas kebebasan berkeyakinan, beriman, dan memilih. Dia menekankan, mustahil menyatukan umat manusia dalam satu agama.
Dia menjelaskan, ada perbedaan antara menghormati dan mengakui keyakinan orang lain. Menghormati tidak berarti menghilangkan perbedaan keyakinan dan akidah antara satu agama dan lainnya.
'Rumah Keluarga Mesir' bermarkas di perkantoran Sheikh Al Azhar di Kairo. Lembaga ini dipimpin Syekh Al Azhar dan Paus dari Gereja Ortodoks Mesir. Tujuannya, memastikan kerukunan antarumat beragama dan mencegah konflik sektarian di Mesir.
Syekh Al Azhar mengawali pidatonya dengan mengatakan, ada sebagian orang berupaya memunculkan keraguan hubungan persaudaraan Islam dan Kristen. Mereka membawa ide mencampuradukkan dua agama dan menghilangkan perbedaan.
Seperti yang sedang ngetren dengan pembentukan agama baru, Agama Abraham, yang tampaknya ingin menyatukan Kristen, Yahudi, dan Islam dalam satu agama untuk menghilangkan akar konflik.
Dia mempertanyakan maksud pembentukan agama baru itu, apakah untuk kerja sama antarpemeluk agama dengan membawa nilai mulia agama masing-masing atau pembentukan agama baru yang belum jelas warna, rasa, dan baunya.
Syekh Al Azhar menjelaskan, agama baru tampak di permukaan mempersatukan umat manusia dan menghapus penyebab perselisihan dan konflik, tetapi sejatinya mengekang kebebasan berkeyakinan, beragama, dan kebebasan memilih.
Baca juga: Mualaf David Iwanto, Masuk Islam Berkat Ceramah-Ceramah Zakir Naik tentang Agama
"Menyatukan umat manusia dalam satu agama adalah mustahil, tak sesuai fitrah yang diciptakan Tuhan untuk manusia,'' ujar Tayeb. Jadi, lanjutnya, "Menghormati kepercayaan orang lain adalah satu hal, dan kepercayaan terhadapnya adalah hal lain.''
Seperti biasanya, yang disampaikan Syekh Tayeb menjadi trending topic di media sosial. Media utama di Timur Tengah (Timteng), seperti Aljazirah, al Sharq al Awsat, BBC Arabic, Al Ahram, mengupasnya. Media-media inilah sumber tulisan ini.
Sejumlah pengamat di Timteng mendukung Syekh Al Azhar. Menurut mereka, pembentukan agama baru itu tak jauh dari politik di Timur Tengah, yakni normalisasi hubungan Israel-negara Arab, konflik Israel-Palestina, dan pembangunan permukiman Yahudi di daerah pendudukan.
Agama baru yang dirancang, digerakkan, dan didanai lembaga-lembaga Zionis interna sional berikut para akademisinya, persis seperti gerakan mereka ketika mendirikan negara Israel di tanah air Palestina.
*Naskah karya Ikhwanul Kirom Masyhuri, tayang di Harian Republika