Jumat 18 Nov 2022 19:20 WIB

Kementan: Harga Beras Naik Bukan Akibat Produksi yang Turun

Kementan menyebut harga beras naik karena komponen produksi yang meroket

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Pedagang menunjukkan beras kualitas premium di kiosnya di Pasar Kosambi, Kota Bandung. Kementerian Pertanian (Kementan) menegaskan, tren kenaikan harga beras belakangan ini bukan disebabkan oleh turunnya produksi secara nasional. Namun, lantaran sejumlah faktor lain termasuk kenaikan harga bahan bakar minyak hingga pupuk dan benih.
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Pedagang menunjukkan beras kualitas premium di kiosnya di Pasar Kosambi, Kota Bandung. Kementerian Pertanian (Kementan) menegaskan, tren kenaikan harga beras belakangan ini bukan disebabkan oleh turunnya produksi secara nasional. Namun, lantaran sejumlah faktor lain termasuk kenaikan harga bahan bakar minyak hingga pupuk dan benih.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) menegaskan, tren kenaikan harga beras belakangan ini bukan disebabkan oleh turunnya produksi secara nasional. Namun, lantaran sejumlah faktor lain termasuk kenaikan harga bahan bakar minyak hingga pupuk dan benih.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, rata-rata harga gabah kering giling (GKG) hingga Oktober 2022 mencapai Rp 5.802 per kg di petani atau yang tertinggi sejak awal tahun. Begitu pula dengan harga beras yang mencapai level tertinggi sebesar Rp 9.834 per kg di tingkat penggilingan.

Direktur Serealia, Kementerian Pertanian, Ismail Wahab, menjelaskan, kenaikan harga di akhir tahun biasa terjadi karena ketersediaan pasokan beras yang rendah karena efek musiman. Namun, harga menjadi jauh lebih tinggi karena sejumlah komponen biaya produksi yang meningkat.

"Harga di musim ini selalu lebih tinggi dari musim sebelumnya lalu dampak kenaikan harga BBM tidak bisa dipungkiri," kata Ismail dalam konferensi pers, Jumat (18/11/2022).

Di satu sisi, kenaikan harga pupuk dunia nyatanya berdampak pada kenaikan biaya produksi. Disamping itu, Ismail mengatakan saat ini banyak petani mulai menggunakan pupuk non subsidi karena terbatasnya penyediaan pupuk subsidi.

Mau tak mau, harga jual hasil panen petani akan lebih tinggi mengikuti biaya modal yang dikeluarkan. "Harga benih juga meningkat karena upah penangkaran sudah naik," katanya.

Meski begitu, data Kerangka Sampel Area (KSA) Badan Pusat Statistik memproyeksi akan terdapat kenaikan produksi padi tahun sekitar 1,25 juta ton gabah kering giling (GKG) tahun ini menjadi 55,67 juta ton. Jika dikonversi ke beras, jumlahnya setara 32,07 juta ton atau naik 720 ribu ton dari produksi beras tahun lalu.

Sementara itu, berdasarkan hasil survei cadangan beras nasional hingga akhir Juni 2022, terdapat pasokan 9,71 juta ton 68 persen di antaranya tersebar di rumah tangga.

Kepala Biro Humas dan Informasi Publik, Kementan, Kuntoro Boga Andri mengatakan, pola produksi beras nasional dalam kondisi normal. Senada dengan Ismail, ia mengatakan, pola harga sekitar bulan November hingga Januari memang relatif meningkat karena bukan pada periode puncak panen.

 Sementara itu, Perum Bulog berencana mengimpor beras 500 ribu ton untuk memenuhi target cadangan beras pemerintah sebanyak 1,2 juta ton, dari stok yang ada saat ini sekitar 625 ton. 

Kuntoro mengatakan, Kementan tidak ingin menanggapi ihwal rencana tersebut. "Jadi kita akan mengikuti apapun keputusan pemerintah. Tapi terkait masalah impor, kita tidak komentar di sini, karena ini keputusan bersama. Kami hanya menyampaikan bahwa tidak ada masalah terkait produksi," ucapnya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement