REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Tim Advokasi Hukum Untuk Kemanusiaan bersama 12 orang tua korban gagal ginjal akut mengajukan gugatan class action kepada pemerintah demi terpenuhinya keadilan bagi korban gagal ginjal akut. Terdapat sembilan pihak yang menjadi tergugat dalam gugatan ini yang terdiri dari unsur pemerintah dan swasta.
"Kami menilai bahwa selain Kemenkes dan BPOM, produsen obat dan pemasok bahan juga harus ikut bertanggung jawab," tegas perwakilan Tim Advokasi, Tegar Putuhena saat ditemui di Jakarta, Jumat (18/11/2022).
Tegar mengungkapkan, pada Jumat pagi pihaknya telah mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat kepada sembilan tergugat. Sembilan tergugat tersebut yakni PT Afi Farma Pharmaceutical Industry, PT Universal Pharmaceutical Industry, PT Tirta Buana Kemindo, CV Mega Integra, PT Logicom Solution, CV Budiarta, PT Mega Setia Agung Kimia, BPOM RI dan Kementerian Kesehatan.
"Kami sudah mengajukan gugatan class action demi terpenuhinya keadilan bagi korban, yakni ke PN Jakarta Pusat, tinggal tunggu nomer registernya saja yang masih berproses. Kita minta ganti rugi untuk korban, perorang tuntutan ganti ruginya senilai Rp 2 miliar 50 juta itu pada korban meninggal, sedangkan yang dalam masih dalam pengobatan di angka Rp 1 miliar 30 juta," ujar kuasa hukum lainnya Ulung Purnama.
Menurutnya, gugatannya itu terbagi dalam dua kelompok, yakni kelompok keluarga yang anaknya meninggal berjumlah 11 orang dan kelompok keluarga yang anaknya masih sakit dan menjalani perawatan. Adapun para tergugatnya, Tergugat 1 dan 2 merupakan produsen obat, Tergugat 3 hingga 7 merupakan penjual dan pemasok atau penyuplai bahan dasar obat yang digunakan Tergugat 1 dan 2.
Kemudian Tergugat 8 merupakan BPOM lantaran dia punya kewajiban menjaga keamanan dan mutu obat sehingga membuat mutu obat mengalami percampuran dan bermutu sangat buruk. BPOM dinilai tak menjalankan aturan-aturan dengan baik dan malah melakukan perbuatan melawan hukum.
"Tergugat 9 itu Kemenkes berkaitan banyaknya kondisi anak korban meninggal dan masih sakit, ini perlu juga dijadikan perhatian oleh temen-temen kesehatan dikrenakan butuh adanya kondisi luar biasa. Kami minta Kemenkes buatkan KLB," tuturnya.
Dia mengungkapkan, kondisi luar biasa atas kasus gagal ginjal akut dibutuhkan agar semua korban, yang mana dari data Kemenkes dan BPOM berjumlah 200 korban meninggal akibat gagal ginjal akut itu mendapatkan pertanggungjawaban dari semua pihak, khususnya pemerintah. Apalagi, korban yang hingga saat ini masih sakit dan menjalani pengobatan membutuhkan biaya lantaran proses pengobatannya pun tak cukup 1-2 bulan saja, tapi bisa sampai bertahun-tahun.
Tim kuasa hukum menilai, kejadian hilangnya ratusan nyawa anak tak berdosa ini menunjukkan betapa pemerintah dan perusahaan obat abai atas keselamatan warga. Gugatan class action ini didasarkan pada penilaian karena seharusnya peristiwa kelam ini bisa dicegah andai saja pemerintah dan swasta benar-benar memiliki itikad baik.
Hal ini mengingat, peristiwa serupa bukan baru pertama kali ini terjadi di dunia. Tim mencatat setidaknya sejak pada 1990 telah terjadi peristiwa keracunan zat EG dan DEG yang tersebar di berbagai negara diantaranya Nigeria pada 1990 (40 anak meninggal), Bangladesh pada 1990-1992 (339 anak meninggal), Argentina pada 1992 (29 anak meninggal), Haiti pada 1995-1996 (109 anak meninggal), Panama pada 2006 (219 meninggal) dan Nigeria pada 2008 (84 anak meninggal).
"Ironisnya, meskipun telah ada preseden sejak 30 tahun yang lalu, Pemerintah (Kemenkes dan BPOM) tampak kaget menghadapi peristiwa ini," tuturnya.
"Bahkan, dalam sebuah kesempatan, BPOM justru mencoba lari dari tanggung jawab dan menyatakan ketidaksiapan menghadapi kejadian ini dikarenakan tidak ada standar internasional mengenai pembatasan zat EG DEG," sambungnya.
Padahal, sejumlah dokumen yang dimiliki tim kuasa hukum justru menunjukkan fakta sebaliknya. Hal tersebut akan menjadi salah satu yang akan diajukan dalam gugatan class action.
Pemerintah melalui Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) telah memiliki kebijakan dan sistem yang menjamin proses pembuatan obat di Industri farmasi telah dilakukan dengan baik dan sistem pengamanan terhadap masuknya zat berbahaya dalam industri farmasi telah dilakukan sedemikian rupa sehingga sistem pengamanan ini berjalan dengan maksimal. Seharusnya sistem ini mampu mencegah sejak awal mengingat kasus yang sama sudah terjadi sejak puluhan tahun sebelum kasus di Indonesia.
Perusahaan-perusahaan yang memproduksi obat sirup yang mengandung zat beracun EG dan DEG seharusnya sudah menngikuti pedoman cara pembuatan obat yang baik dan melakukan pengamanan penggunaan zat berbahaya. Sehingga seharusnya perusahaan farmasi bisa memastikan bahwa seluruh sistem produksi obat dan produk obat yang dihasilkan aman bagi kesehatan manusia. Sayangnya, justru perusahaan-perusahaaan farmasi ini menggunakan bahan obat yang mengandung zat beracun EG dan DEG dengan kandungan yang sangat tinggi.
“Kami menilai banyak sekali anak meninggal dunia akibat obat yang justru diedarkan secara resmi, mengindikasikan adanya masalah dan dugaan permainan di balik ini semua. Demi keuntungan bisnis, keselamatan warga terabaikan. Negara dan perusahaan wajib bertanggung jawab atas masalah ini demi terpenuhinya keadilan bagi korban," tegasnya lagi.