REPUBLIKA.CO.ID, NATUNA -- Pemerhati lingkungan dan satwa berharap penyajian makanan berupa telur penyu tidak dijadikan hidangan pada setiap acara pemerintahan di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Perlu ada sosialisasi agar timbul kesadaran mengapa telur penyu tidak boleh dikonsumsi.
"Kami menyayangkan itu, terakhir kami masih melihat adanya penyajian telur penyu sebagai lauk pada hidangan makan siang salah satu acara resmi pemerintah di Natuna pada Rabu (16/11/2022)," Kata Daeng Cambang selaku pemerhati lingkungan Komunitas Jelajah Bahari Natuna (JBN) saat dihubungi, Sabtu (19/11/2022).
Pemerintah atau bupati hingga kepala desa seharusnya tegas ketika mendapati masyarakat yang menjual atau mengonsumsi bebas telur penyu. "Setidaknya menegur secara halus dan memberikan sanksi ketika didapati menjual dan mengonsumsi telur penyu, apalagi di acara resmi seperti itu yang dihadiri pejabat tingkat kementerian," katanya.
Dia menyarankan sudah semestinya dilakukan sosialisasi sejak dini hingga ke sekolah-sekolah yang ada di Natuna, agar timbul kesadaran tidak lagi melakukan pelanggaran hukum secara terang-terangan sejak dini. "Jika perlu memberikan mata pelajaran tambahan tentang kelautan sebagai sarana edukasi atau menempel stiker, poster pelarangan keras mengambil dan mengonsumsi telur penyu," ujarnya.
Menurutnya, upaya lain juga bisa dilakukan dengan diadakan penyuluhan di kalangan nelayan dan desa yang selalu menjual dan mengonsumsi penyu secara bebas. Selanjutnya, ia juga menyarankan agar lokasi penangkaran penyu berbasis masyarakat yang telah dibangun di wilayah itu dijadikan tempat edukasi bagi warga setempat. "Karena itu bisa menjadi mata pencaharian tambahan untuk masyarakat setempat, jadi tidak lagi mengonsumsi telur penyu," kata Cambang.
Menurutnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan warga setempat kerap mengonsumsi telur penyu karena menganggap sebagai bahan makanan sehat. "Dianggap sebagai penambah stamina padahal sebaliknya, itu bisa mengakibatkan stroke ringan, tidak baik untuk kesehatan," ujarnya.
Jika dikaitkan dengan program pemerintah saat ini Natuna akan menjadi kawasan wisata, maka kegiatan seperti itu tidak boleh terjadi karena menimbulkan citra buruk bagi daerah itu sendiri. "Selagi kegiatan ilegal, tidak ramah lingkungan, tidak konservasi, maka jangan bermimpi akan mengembangkan wisata, termasuk kepedulian terkait sampah plastik juga harus diperhatikan," ujarnya lagi.
Menurutnya, pelarangan menjual telur penyu, mengonsumsi dan memanfaatkan bagian lainnya dari penyu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1990 dan disebutkan bahwa pelaku perdagangan satwa termasuk telur penyu bisa diancam dengan hukuman penjara 5 tahun serta denda Rp 100 juta.
Pengelola dan Pusat Konservasi Penyu Serangan Bali, I Wayan Dedi mengatakan kegiatan pemanfaatan telur dan daging penyu sempat dilakukan warga di Bali, namun kegiatan seperti itu saat ini tidak lagi dilakukan oleh warga setempat. "Dulu iya, saya tidak tahu di Natuna seperti apa, yang pasti saya pikir hampir serupa dengan apa yang terjadi di sini saat itu," kata Dedi.
Saat ini di Bali, ia mengatakan kegiatan mengonsumsi telur dan daging penyu tidak lagi dilakukan, penyu hanya dijadikan persembahan pada acara adat sekali dalam satu tahun. "Itu pun sudah ditentukan, hanya delapan ekor per tahun untuk seluruh Provinsi Bali dan itu bukan penyu dari alam melainkan hasil dari pembesaran," katanya.
Ia menjelaskan pemanfaatan penyu sebagai bahan persembahan upacara adat disepakati dan dibuat peraturannya oleh tokoh adat beserta pemerintah setempat dengan pelaksanaan yang jelas, sehingga warga tidak lagi melakukan pelanggaran hukum. "Kalau untuk selain upacara adat tidak boleh, begitu juga dengan telur penyu tidak boleh, hanya boleh untuk kegiatan konservasi," ujarnya.
Karena itu, ia menyarankan harus ada upaya hukum yang dilakukan dengan menerapkan aturan atau membuat peraturan adat sebagai turunan dari undang-undang yang telah ada supaya jelas dan mudah dimengerti oleh warga demi menjaga ekosistem laut.