Oleh : Mohammad Akbar, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, Kick off Piala Dunia 2022 telah ditiup. Berbeda dengan penyelenggaraan terdahulu, gelaran sepak bola terakbar yang baru kali pertama digelar di jazirah Arab ini menyisakan sejumlah polemik.
Polemik itu muncul karena Qatar sebagai tuan rumah menerapkan sejumlah aturan. Bagi 'orang Barat' aturan-aturan tersebut dinilai tak lazim. Di antara aturan yang menyulut kontroversi itu adalah larangan berpesta minuman beralkohol di tempat umum, larangan berzina, kampanye LGBT, menyantap daging babi, sampai larangan berpakaian mengumbar aurat buat wanita. Semua budaya itu sesungguhnya kerap diagungkan oleh kelompok hedon.
Begitu banyaknya larangan yang tak lazim di Piala Dunia kali ini, eks Eks Presiden FIFA, Sepp Blatter, langsung bersuara lantang. Ia menyebut terpilihnya Qatar sebagai keputusan yang salah. Sebagai persona, Blatter ini sesungguhnya bukanlah sosok credible voice untuk dapat menyuarakan nilai-nilai sepak bola.
Nama Blatter ini pernah tercoreng akibat dugaan praktik korupsi. Namun demikian, suara semacam Blatter ini menjadi sangat menggema keras. Setidaknya di dunia Barat yang sejatinya menganut paham kebebasan namun terkadang sarat dengan sikap hipokrasi.
Sebagai penikmat bola, ketidaklaziman aturan di Piala Dunia 2022 inilah yang terus diamplifikasi di ruang publik. Khususnya corong media Barat yang gemar sekali mengumbarnya. Kita seakan dialpakan oleh kisah dan cerita cerita inspiratif dari orang-orang yang sudah berjuang mewujudkan Piala Dunia bisa digelar di Qatar. Kita juga seakan dijauhkan bagaimana esensi dari Piala Dunia itu harusnya bisa sebagai perekat persaudaraan.
Sayangnya, sebagian dari kita saat ini, lebih mengikuti arus media Barat yang telah memprovokasi lewat hadirnya larangan yang diterapkan kepada penonton Piala Dunia 2022 Qatar. Apa yang digaungkan Barat saat ini sesungguhnya menjadi pertarungan kekuatan antara budaya Timur versus Barat.
Qatar sebagai representasi Timur, tentunya memiliki norma dan nilai yang sudah terinternalisasi menjadi budaya. Larangan yang diberlakukan pada Piala Dunia 2022 ini sejatinya menjadi pagar agar ekspansi budaya Barat itu cukup berada di depan pekarangan rumah saja.
Sebagai pemilik rumah, menjadi hal yang wajar untuk mengingatkan para tamunya untuk mengikuti norma dan nilai yang berlaku. Sebaliknya, sebagai tamu yang rasional, sudah selayaknya untuk mengikuti norma dan nilai yang diberlakukan oleh pemilik rumah.
Jadi, jangan nodai pesta sepak bola empat tahunan ini sebagai bentuk pemaksaan budaya. Harusnya, Piala Dunia ini menjadi tempat terciptanya akulturasi budaya yang mengedepankan nilai egalitarian dan kemanusiaan.
Jika terus menghujat Qatar sebagai tempat yang salah menyelenggarakan Piala Dunia maka sesungguhnya di sanalah sudah ditanamkan benih benih pemaksaan budaya. Ingat, sepak bola ini hadir untuk menghibur dan memperkuat solidaritas kemanusiaan. Jangan jadikan Piala Dunia ini hanya menjadi milik kaum hedon yang gemar mengumbar nafsu belaka.
Menyitir penggalan lirik lagu Bob Marley, mari kita jadikan pesta Piala Dunia ini dengan seruan "Get up, stand up, stand up for your rights". Tentunya seruan lebih ditujukan untuk melawan dominasi budaya Barat yang selalu merasa superior atas budaya Timur. Mari kita bersenang di Qatar tapi tak harus berpesta pora layaknya kaum hedon yang hipokrit.