REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus mengingatkan agar kandidat calon presiden di Pilpres 2024 harus mempunyai komitmen untuk menjaga NKRI dan merawat kebhinekaan.
"Capres pada Pilpres 2024 haruslah capres yang memiliki komitmen tinggi dalam menjaga NKRI, merawat kebhinekaan, menjaga integrasi nasional dan yang mampu melanjutkan program pembangunan Presiden Jokowi," ujar Petrus dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Ahad (20/11/2022).
Komitmen itu, lanjut dia, penting untuk memastikan tidak adanya kandidat capres yang menggunakan politik identitas atau politisasi agama serta memanfaatkan kelompok radikal-intoleran untuk mendapatkan keuntungan elektoral semata.
"Ini yang perlu disadari para kandidat capres 2024 bahwa kelompok radikal dan intoleran akan memanfaatkan setiap momentum politik untuk masuk ke kekuasaan," kata dia.
Selain kandidat capres, kata Petrus, partai politik juga harus memastikan tidak mengusung kandidat capres yang rendah komitmen kebangsaan dan kebhinekaannya.
Menurut Petrus, peran partai politik sangat penting karena merekalah yang akan menentukan pasangan capres-cawapres yang akan diusung di Pilpres 2024.
"Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu khusus Pasal 222 telah menyebutkan dengan tegas bahwa pasangan capres-cawapres diusung parpol atau gabungan partai politik. Hal ini berarti, parpol punya mempunyai peran besar memastikan Pilpres 2024 digelar secara damai dan aman dengan mengusung pasangan capres-cawapres yang memiliki komitmen merawat NKRI dan kebhinekaan," paparnya.
Garda Nasionalis terdiri atas sejumlah organisasi demokrasi dan toleransi, seperti TPDI, Barisan Rakyat Indonesia Gelorakan Demokrasi (Brigade), Forum Borneo Internasional (FBI), Gagasan Amanah Muda Indonesia (GAMI), dan Komunitas Anak Bangsa.
Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol R. Ahmad Nurwakhid mengingatkan seluruh elemen bangsa soal potensi peningkatan gerakan radikalisme menjelang Pemilu Serentak 2024 yang dipicu politik identitas berdasarkan agama atau politisasi agama.
Menurut dia, potensi kelompok-kelompok radikal-teroris memanfaatkan momentum Pemilu selalu ada dengan memainkan isu politik identitas. "Potensi selalu ada, kita hanya menjaga, meminimalisir supaya potensi-potensi tidak berkembang. Kita sudah membuktikan bahwa potensi ancaman terorisme, radikalisme saat ini kan bisa kita eliminir sehingga kemarin penyelenggaraan G20 bisa berjalan aman, lancar, dan sukses," tuturnya.
BNPT, kata Nurwakhid, akan melakukan berbagai langkah dan upaya untuk mencegah politik identitas dan masuknya ideologi transnasional dalam pesta demokrasi.
"BNPT itu lembaga nonkementerian di bawah pemerintah yang bertugas merumuskan kebijakan, mengimplementasikan dan mengkoordinasikan terhadap elemen bangsa dan negara, tentu termasuk kita juga diskusi, dialog atau melakukan koordinasi dengan seluruh elemen termasuk partai politik," ucapnya.
Dia menambahkan, radikalisme dan terorisme merupakan musuh bersama seluruh umat manusia, seluruh bangsa dan seluruh agama. Oleh karena itu, upaya pemberantasan terorisme dan radikalisme menjadi tanggung jawab bersama, tidak bisa dibebankan kepada pemerintah saja.
Sementara itu, mantan narapidana terorisme Sofyan Tsauri mengingatkan para elite politik di Indonesia agar tidak menggunakan politik identitas untuk memenangkan kontestasi Pemilu Serentak 2024.
"Dampak dan efek politik identitas khususnya memanfaatkan identitas agama, sangat berbahaya bagi keutuhan NKRI karena terjadi polarisasi yang sangat tajam di masyarakat," kata Sofyan.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook