REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Partai Buruh dan organisasi serikat buruh berterima kasih kepada Presiden Joko Widodo atas penetapan upah minimum 2023, yang tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 dengan kenaikan maksimal sebesar 10 persen.
Pengamat ekonomi Universitas Katolik (Unika) Atma Jaya Rosdiana Sijabat mengatakan, keputusan Pemerintah menaikan upah buruh sebesar 10 persen ini sangat baik untuk menjaga daya beli masyarakat disaat pertumbuhan ekonomi semakin membaik, sekaligus mengantisipasi terjadinya inflasi di tahun depan.
“Jadi begini ini kan kenaikan di angka 10 persen, jadi kalau kita melihat dengan beberapa indikator ekonomi makro utama setidaknya kita melihat pertumbuhan ekonomi, kenaikan inflasi dll, Saya kira kenaikan 10 persen itu bisa kita katakan upaya untuk menjaga daya beli sebenarnya,” kata Rosdiana saat dihubungi, Senin (21/11/2022).
Dikatakan Rosdiana, pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam empat kuartal terakhir sangat positif dan menjadi modal bagi Indonesia menghadapi ancaman krisis di tahun depan, termasuk menghadapi ancaman inflasi. Olehnya itu, kenaikan upah buruh ini langkah tepat Pemerintah dan kabar baik bagi para buruh.
“Harapan Kita kalau naik 10 persen ya. Empat kuartal terakhir pertumbuhan ekonomi kita sekitar 5 persen, nah ini mengantisipasi di tahun depan kalau kita lihat dari tren memang ada kenaikan harga dan itu menjadi tantangan. Ini lebih kepada kehati-hatian dari pemerintah, mencoba melihat bagaimana kaum buruh kita ini tahun depan di tengah-tengah ketidakpastian secara luas,” ujarnya.
“Tapi kalau kita lihat dari sisi perekonomian kita, sebenarnya kita harap sih baik-baik saja dengan konsistensi pertumbuhan ekonomi yang bisa di atas 5 persen, lalu kita di tahun depan itu upah buruh naik 10 persen ini salah satunya ada faktor penghitungan itu memasukkan pertumbuhan ekonomi yang sekitar 5 persen itu,” sambungnya.
Dengan kenaikan upah ini, menurut Rosdiana menjadi kabar baik bagi para buruh disaat ada ancaman inflasi tahun depan. Pasalnya, ancaman inflasi ini tidak hanya dihadapi Indonesia tetapi hampir seluruh negara di dunia, hingga Pemerintah harus mengambil kebijakan dengan hati-hati, termasuk dengan menaikan upah buruh sebesar 10 persen.
“Ya kalau misalkan kita lihat dari beberapa tahun sebelumnya, tentu kenaikan 10 persen ini seharusnya memberikan semacam rasa nyaman, karena kalau kita lihat inflasi kemudian pertumbuhan ekonomi kita relatif jauh di bawah 10 persen,” ujarnya.
Dengan naiknya upah buruh sebesar 10 persen ini, harusnya daya beli tidak turun meskipun secara agregat pertumbuhan ekonomi nasional ada di sekitar 5 persen lebih.
“Kenaikan upah nominal 10 persen ini dengan inflasi semisal 3 atau 5 persen bahkan sampai 6 persen pun berarti nilai riil dari uang kita, uang buruh di atas angka itu seperti kita membangun kondisi yang kondusif, yang positiflah dalam pandangan kaum buruh,” paparnya.
Dijelaskan Rosdiana, sangat penting bagi perekonomian secara keseluruhan kondusif seperti yang diinginkan. “Maka perekonomian nasional secara domestik, kondisinya harus kondusif agar relatif lebih mudah bagi pemerintah dan masyarakat atau buruh tidak terkena dampak ketidakpastian ekonomi secara global,” jelasnya.
Dikatakan dosen ekonomi itu, secara hitung-hitungan kenaikan upah 10 persen secara nominal riil ada upaya meningkatkan daya beli masyarakat.
“Kalau kita melihat misalnya mempertimbangkan berapa pertumbuhan ekonomi kita, berapa inflasi kita dan indeks indeks lain yang terkait. Tetapi yang dilakukan pemerintah karena baru-baru ini ada kenaikan BBM, agar jangan sampai berdampak akibat kenaikan BBM itu berkelanjutan sampai ke tahun depan,” ungkapnya.
“Jadi dengan menaikkan upah minimum sekitar 10 persen kita harapkan nanti UMK ikut berkembang pesat, juga tentunya nanti kalau secara undang-undang sudah menetapkan seperti itu kenaikannya maksimal 10 persen,” tambahnya.
Dengan penerbitan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023, harusnya kemampuan di tingkat regional sampai 10 persen, artinya secara keseluruhan Pemerintah ingin menjaga daya beli, meski hal tersebut variatif pelaksanaannya di tingkat bawah.
“Tentu tidak bisa penyeragaman dari berbagai wilayah, mungkin tidak tetapi payung hukumnya itu sudah berdasarkan kajian pertimbangan PDRB di berbagai provinsi, dan juga inflasi diberbagai provinsi kemudian munculah yang kita dianggap besaran sampai 10 persen itu,” pungkasnya.
“Jadi kalau ada misalkan undang-undang sebagai payung besarnya jadi maksimal sampai 10% artinya itulah yang menjadi kiblat kenaikannya di berbagai tempat seharusnya demikian,” ujar Rosdiana.