Selasa 22 Nov 2022 17:27 WIB

Mahfud MD Umumkan Kelanjutan Kasus Gang Rape di Kemenkop UKM

Menko Polhukam Mahfud MD mengumumkan kelanjutan kasus gang rape di Kemenkop UKM.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bilal Ramadhan
Ilustrasi pemerkosaan. Menko Polhukam Mahfud MD mengumumkan kelanjutan kasus gang rape di Kemenkop UKM.
Foto: www.jeruknipis.com
Ilustrasi pemerkosaan. Menko Polhukam Mahfud MD mengumumkan kelanjutan kasus gang rape di Kemenkop UKM.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD menjamin kelanjutan proses hukum kasus gang rape atau pemerkosaan berkelompok pegawai di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (Kemenkop UKM). Ia telah meminta Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) atas kasus itu dicabut.

Mahfud menjelaskan, keputusan itu diambil dalam rapat gabungan di kantor Kemenko Polhukam yang dihadiri pimpinan LPSK, Kabareskrim, Kompolnas, Kejaksaan Agung, Kemenkop UKM dan KemenPPPA.

Baca Juga

"Memutuskan, kasus perkosaan terhadap seorang pegawai di kantor Kemenkop UKM yang korban bernama NDN dilanjutkan proses hukumnya dan dibatalkan SP3-nya," kata Mahfud dalam keterangan video yang disaksikan pada Selasa (22/11/2022).

Mahfud menyebut empat tersangka berinisial N,MF, WH dan ZP serta tiga saksi yang dianggap terlibat berinisial A,T dan H harus diseret ke meja hijau. Mahfud menegaskan alasan SP3 karena pencabutan laporan dari korban tidak dapat dibenarkan secara hukum. Sebab dalam hukum, laporan tak bisa dicabut, yang bisa dicabut hanya pengaduan.

"Kalau laporan, polisi harus menilai kalau tidak cukup bukti tanpa dicabut laporan dihentikan perkara. Tapi kalau cukup bukti meski yang melapor menyatakan mencabut, maka perkara harus diteruskan," ujar Mahfud.

"Kalau pengaduan, begitu yang mengadu mencabut maka perkara ditutup," lanjut Mahfud.

Mahfud juga menyatakan, restorative justice tak bisa dijadikan dalih pengeluaran SP3. Apalagi klaim telah hadirnya restorative justice dibantah korban dan keluarganya. Pihak korban pun menolak disebut pernah mengutus seseorang mencabut laporan.

"Dibantah mereka (korban dan keluarganya) beri kuasa kepada seseorang untuk cabut laporan," sebut Mahfud.

Selain itu, Mahfud menjelaskan restorative justice hanya berlaku untuk tindak pidana tertentu yang sifatnya ringan. Restorative justice, lanjut Mahfud, tak bisa diterapkan pada kejahatan serius dengan ancaman hukuman minimal empat tahun seperti korupsi,  pencurian, pembunuhan, perampokan. Kejahatan semacam itu wajib dibawa ke pengadilan.

"Karena ini banyak yang salah kaprah karena ada yang ditangkap korupsi minta restorative justice, tidak ada itu!. Itu sudah ada pedomannya di MA, di Kejaksaan Agung dan Polri. Bukan sembarang tindak pidana orang mau berdamai lalu ditutup kasusnya," tegas Mahfud.

Tercatat pada tahun 2019, terjadi kasus kekerasan seksual berbentuk "gang rape" di lingkup KemenkopUKM yang kemudian ditindaklanjuti berkoordinasi dengan aparat penegak hukum.

Kasus itu sempat dihentikan ketika penyidik mengeluarkan SP3 setelah pihak keluarga korban dan para pelaku diduga bersepakat menyelesaikan secara kekeluargaan dengan menikahkan salah satu pelaku dengan korban.

Padahal pernikahan itu sarat dengan tekanan. Korban dan keluarganya sempat didatangi pejabat KemenKop UKM dan keluarga pelaku ketika kasus ini sudah dalam proses penyidikan. Dalam kesempatan itu, keluarga pelaku memelas dikasihani.

Bahkan keluarga korban dipaksa menikahkan korban dengan salah satu pelaku berinisial ZP yang masih lajang. Pernikahan itu akhirnya berlangsung pada 12 Maret 2020 menggunakan izin menikah karena pelaku saat itu mendekam di balik jeruji besi. Padahal usai pernikahan, ZP seolah lenyap dari bumi. ZP pun tak berlaku layaknya suami dari korban.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement