Rabu 23 Nov 2022 23:32 WIB

RI Diminta Perketat Perbatasan di LCS

Langkah China mendirikan pangkalan Angkatan Laut di Kamboja berisiko bagi kawasan

Peta klaim Laut Cina Selatan
Foto: Wikipedia
Peta klaim Laut Cina Selatan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Indonesia dan negara-negara Asia diminta untuk memperketat pengawasan batas teritorial negara masing-masing, khususnya yang bersinggungan dengan Laut China Selatan (LCS). Wakil Bendahara DPP Pelajar Islam Indonesia (PII) Furqan Raka mengungkapkan, hal tersebut demi kewaspadaan agar batas wilayah negara tidak diklaim oleh Pemerintah Republik Rakyat China. 

Furqan pun mengutip pendapat seorang ahli dari Universitas Charles, Dr. Takashi Hosoda memperingatkan dunia bahwa langkah China mendirikan pangkalan angkatan laut di Kamboja,  akan menimbulkan risiko keamanan besar bagi negara-negara lain di kawasan itu.  Dia menjelaskan, modernisasi dan perluasan Pangkalan Angkatan Laut Ream akan memungkinkan Angkatan Laut Kerajaan Kamboja (RCN) untuk mengoperasikan kapal pembawa rudal anti-kapal dan pertahanan udara seperti kapal rudal Tipe 22 (kelas Houbei) China, korvet Tipe 056, dan fregat Tipe 054A yang juga milik Beijing.

“China juga membiayai proyek infrastruktur besar-besaran di Kamboja termasuk jalan, jembatan, pelabuhan laut, bandara, rel kereta api, dan bendungan pembangkit listrik tenaga air, sehingga negara tersebut semakin tersandera,” dia lewat keterangan tertulis, Rabu (23/11). 

Proyek-proyek utama Kamboja yang saat ini sedang dilaksanakan melalui modal China termasuk pekerjaan di Bandara Internasional Dara Sakor dan proyek pelabuhan laut dalam di Kampot.  China juga tampaknya berperan dalam memburuknya hubungan Kamboja dengan negara lain secara bertahap. Penurunan yang terlihat, nyata terlihat dalam hubungan Kamboja dengan AS dalam beberapa tahun terakhir. Hubungan bilateral Kamboja dengan AS mulai renggang setelah pembatalan latihan militer bersama “Angkor Sentinel” dan pembubaran Cambodia National Rescue Party (CNRP) pada 2017. 

Rapuhnya hubungan bilateral Kamboja dengan demikian memberi Beijing lahan subur untuk meningkatkan pengaruh melalui perang proksi di wilayah tersebut. Beberapa pilihan strategis yang dibuat oleh Kamboja secara historis, tidak mudah untuk mengurangi ketergantungan pada China dalam waktu dekat.  “Negara ini tampaknya tidak punya pilihan selain mengandalkan China untuk pembiayaan yang sangat penting untuk pembangunan ekonominya,” ungkap Furqan Raka.

Dia menjelaskan, Kamboja, negara yang tercatat memiliki hutang lebih dari dari 9 miliar dolar AS pada tahun 2021 dan diperkirakan akan melewati 10 miliar dolar AS pada akhir tahun 2022, dimana lebih dari 40 persen hutang Kamboja berasal dari pinjaman China. Selain itu, China tetap menjadi sumber impor terbesar Kamboja yang menyumbang lebih dari 30% dari total impornya, sehingga membuat negara tersebut cukup rentan terhadap kebijakan utang China.

Menurut dia, hampir sebagian besar analis dalam negeri Kamboja telah memperingatkan tentang cara Beijing menciptakan ketergantungan jangka panjang untuk Kamboja, yakni dengan cara membiayai proyek infrastruktur besar di negara tersebut.   Mereka khawatir bahwa dukungan ini pada akhirnya dapat dimanfaatkan oleh China untuk memajukan kepentingannya di kawasan Asia Tenggara secara keseluruhan, termasuk Laut China Selatan.

Dia menjelaskan, ketergantungan terhadap pinjaman alias hutang dari China, kian hari semakin meningkat ditengah kondisi resesi ekonomi yang banyak dialami oleh negara-negara dunia, khususnya Asia. Menurut dia, banyak yang melihat utang China ini sebagai jebakan Beijing untuk menguasai atau setidaknya mempengaruhi tata kelola pemerintahan, ekonomi, kebijakan dan keamanan negara-negara yang berhutang kepada mereka.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement