REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Kehidupan di perkotaan penuh hiruk-pikuk demi sebuah alasan, mencari rezeki. Kesibukan masyarakat, apalagi di Ibu Kota Jakarta, sering kali menjadi dalih terbentuknya sikap individualistik.
Akibatnya, antara satu warga dengan warga lain tidak saling mengenal karena sibuk bekerja di luar rumah. Interaksi kurang, kepedulian antartetangga pun menjadi barang langka.
Pakar Fiqih dari Ma'had Aly Salafiyah Syafi'iyah Situbondo Jawa Timur, KH Afifuddin Muhajir menjelaskan, setiap Muslim tentu punya kebebasan dan keleluasaan untuk mencari rezeki. Islam mempersilakan mencari kekayaan. Namun, kekayaan dalam Islam memiliki fungsi sosial.
Kekayaan dari hasil kerja selama menjalani kehidupan di perkotaan bukan untuk dinikmati sendiri. Sebab sejatinya tersimpan fungsi sosial dalam harta kekayaan yang dimiliki seorang Muslim.
Karena itu, dalam Islam ada kewajiban zakat, infak, dan sedekah sebagai fungsi sosial kekayaan. Nabi SAW. Rasulullah SAW bersabda:
ما امن بي من با ت شبعان وجاره جائع الى جنبه وهو يعلم
"Tidaklah beriman kepadaku orang yang kenyang semalaman sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya, padahal dia mengetahuinya." (HR At-Thabrani)
Kiai Afifuddin memaparkan, hadits tersebut menunjukkan bahwa setiap Muslim harus memiliki kepedulian sosial. Dalam hadits lain, Nabi SAW bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَاْليَومِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِ جَارَهُ
"Siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka janganlah dia menyakiti tetangganya." (HR Muslim)
"Ada beberapa bentuk penghormatan. Salah satunya, menyantuni tetangga yang kesulitan secara ekonomi ataupun sosial. Ini ajaran Islam yang indah sekali, tetapi ada sebagian Muslim yang tidak mengamalkannya," kata Wakil Rais 'Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.
Bahkan, Kiai Afifuddin melanjutkan, tetangga sejatinya adalah saudara terdekat. Allah SWT berfirman:
اعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri.“ (QS An-Nisa ayat 36)
Ayat tersebut, jelas Kiai Afifuddin, menunjukkan keutamaan tetangga dekat. Terlebih tetangga yang memang masih ada ikatan kekerabatan. Karena itu, di dalam Alquran sebetulnya sudah ada perintah untuk peduli pada tetangga, mulai dari tetangga terdekat sampai yang jauh. Dengan kepedulian tersebut, akan melahirkan persaudaraan antartetangga.