REPUBLIKA.CO.ID, YEREVAN – Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan mengkritik aliansi keamanan yang dipimpin Rusia, yakni Collective Security Treaty Organisation (CSTO). Menurutnya, CSTO telah gagal memberikan perlindungan kepada negaranya dalam menghadapi agresi dari Azerbaijan.
“Sejauh ini kita telah gagal untuk membuat keputusan tentang reaksi CSTO terhadap agresi Azerbaijan terhadap Armenia,” kata Pashinyan saat berbicara dalam pertemuan para pemimpin negara anggota CSTO yang digelar di Yerevan, Rabu (23/11/2022). Presiden Rusia Vladimir Putin turut hadir dalam pertemuan tersebut.
Pashinyan menilai, sangat menyedihkan bahwa keanggotaan Armenia di CSTO gagal menahan agresi Azerbaijan. “Fakta ini sangat merusak citra CSTO, baik di negara kami maupun di luar negeri,” ucapnya.
Pashinyan dan Putin diagendakan melakukan pembicaraan pada Rabu malam waktu setempat. CSTO beranggotakan negara-negara bekas Uni Soviet. Selain Armenia dan Rusia, terdapat empat negara lain yang tergabung dalam aliansi tersebut, yakni Kazakhstan, Belarusia, Kyrgyzstan, dan Tajikistan.
Belum lama ini, Armenia mengusulkan pembentukan zona demiliterisasi di sepanjang perbatasannya dengan Azerbaijan di sekitar wilayah Nagorno-Karabakh yang dipersengketakan. Kedua negara telah berulang kali terlibat pertempuran dan konfrontasi di wilayah tersebut.
“Saya telah mengajukan inisiatif untuk menciptakan zona demiliterisasi di sekitar Nagorno-Karabakh. Kami juga mengajukan inisiatif untuk mendirikan zona demiliterisasi sepanjang tiga kilometer di sepanjang perbatasan Armenia-Azerbaijan,” kata Pashinyan pada 10 November lalu.
Inisiatif Pashinyan muncul beberapa hari setelah Presiden Azerbaijan Ilham Aliyev mengulangi seruan agar militer Armenia mundur dari Karabakh. Konfrontasi antara pasukan Armenia dan Azerbaijan pada September lalu menyebabkan lebih dari 280 orang tewas. Jumlah itu merupakan gabungan antara kedua belah pihak.
Armenia dan Azerbaijan telah terlibat pertikaian sejak dekade 1990-an. Pemicu utamanya adalah Nagorno-Karabakh, sebuah wilayah yang terletak di dalam Azerbaijan, tapi berada di bawah kendali pasukan etnis Armenia. Pada 2020 lalu, kedua negara terlibat pertempuran di wilayah tersebut.
Konfrontasi berlangsung selama enam pekan dan memakan korban lebih dari 6.500 jiwa. Rusia menjadi pihak yang berhasil mendorong kedua negara menyepakati gencatan senjata. Berdasarkan perjanjian, 2.000 tentara penjaga perdamaian Rusia dikerahkan ke wilayah tersebut.
Azerbaijan memperoleh keuntungan teritorial yang signifikan. Hal itu karena Armenia setuju menyerahkan beberapa bagian wilayah di Nagorno-Karabakh ke Azerbaijan sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata.