REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Gempa bumi berkekuatan 5,6 magnitudo yang mengguncang Cianjur pada 21 November 2022. Gempa ini mengakibatkan setidaknya 956 unit rumah rusak, ratusan korban meninggal dunia, dan puluhan jiwa masih dinyatakan hilang.
Peneliti senior dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (Puslit MKPI) Institut Tekonologi Sepuluh Nopember (ITS), Amien Widodo mengatakan, ini bukan pertama kalinya Cianjur diguncang gempa. Sejak tahun 1800-an, kata Amin, gempa bumi sudah sering kali mengguncang Cianjur.
"Jadi memang sering terjadi gempa di sana (Cianjur)," kata Amien kepada Republika, Kamis (24/11/2022).
Amien menjelaskan, berdasarkan data yang diperolehnya dari BMKG, gempa bumi yang pertama kali tercatat pernah mengguncang Cianjur dan menimbulkan kerusakan terjadi pada 1879. Kemudian gempa bumi kembali terjadi di Cianjur pada 14 Januari 1900 dan 21 Januari 1912 yang juga menimbulkan kerusakan. Gempa bumi kembali terjadi di Cianjur pada 2 November 1969, 26 November 1973, dan 10 Februari 1982.
Gempa kembali terjadi pada 12 Juli 2000 yang menyebabkan 1.900 rumah rusak. Selanjutnya gempa juga terjadi di Cianjur pada 12 Juni 2011 yang menyebabkan 136 rumah rusak. Gempa juga terjadi pada 4 Juni 2012 yang menyebabkan 104 rumah rusak, dan 8 September 2012 yang mengakibatkan 560 rumah rusak. Gempa juga mengguncang Cianjur pada 11 Maret 2020 yang mengakibatkan 760 rumah rusak.
Amien pun mendorong, dilakukannya penelitian untuk mengetahui kemungkinan adanya sesar baru yang menjadi pusat gempa Cianjur. Amien berkeyakinan, gempa Cianjur bukan dipicu pergerakan sesar Baribis maupun sesar Cimandiri. Itu tak lain karena jarak kedua sesar tersebut yang jauh dari pusat gempa Cianjur.
Amien melanjutkan, penelitian diperlukan untuk pemerintah daerah melakukan pemetaan wilayah berdasarkan zona sesar yang ada. Dimana nantinya akan diketahui daerah mana saja yang tidak diperbolehkan ada penghuni atau bangunan karena alasan keselamatan.
"Jadi dipetakan mana yang memang tidak boleh dihuni atau tidak boleh ada rumah. Mungkin sawah boleh. Kemudian 1 kilometer dari situ baru boleh dihuni dengan bangunan tahan gempa yang ketat. Artinya tata ruang harus diperbaiki," ujarnya.