REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy telah menampung aspirasi dari banyak anggota Komisi III DPR terkait pasal penghinaan lembaga negara. Hasilnya, pemerintah memutuskan untuk menghapus pasal penghinaan lembaga negara yang ada di Pasal 347 RKUHP.
"Sekaligus kami memberitahukan bahwa Pasal 347 yang tadinya penghinaan terhadap lembaga negara, tadinya kekuasaan umum, kemudian menjadi lembaga negara ini kita hapus," ujar Eddy dalam rapat kerja dengan Komisi III, Kamis (24/11/2022).
Sebelum keputusan tersebut, ia menjelaskan bahwa Pasal 347 ayat 1 berbunyi, "Setiap Orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II". Dalam penjelasannya, lembaga negara terdiri dari MPR, DPR, DPD, Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Kendati Pasal 347 tentang penghinaan lembaga negara dihapus, pihaknya menggabungkannya ke Pasal 240 RKUHP. Sebelum keputusan tersebut, Pasal 240 Ayat 1 menjelaskan, setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina 'pemerintah', dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.
Pemerintah juga menambahkan penjelasan untuk Pasal 240. Khususnya pengertian tentang pemerintah adalah presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
"Kita merge ke Pasal 240. Sehingga judulnya adalah penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara yang pada intinya adalah satu, merupakan delik aduan. Itu dia bersifat formil, tapi kalau ada kerusuhan kemudian dia bersifat delik materiil," ujar Eddy.
Kemudian pengertian 'penghinaan' diambil dari Pasal 218 RKUHP. Arti penghinaan adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak kehormatan atau citra pemerintah atau lembaga negara, termasuk menista atau memfitnah. Sambungnya, menghina berbeda dengan kritik yang merupakan hak berekspresi dan hak berdemokrasi.
Contoh kritik dapat melalui unjuk rasa atau menyampaikan pendapat yang berbeda dengan kebijakan pemerintah atau lembaga negara. Sebab, dalam negara demokratis, kritik menjadi hal yang penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif.
"Walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan pemerintah atau lembaga negara. Pada dasarnya kritik dalam pasal ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat," ujar Eddy.