REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Moch Hisyam
Ka’ab bin Malik RA ada lah salah satu sahabat Nabi SAW yang tidak ikut berperang dalam Perang Tabuk. Penyebabnya, karena terlena dengan urusan dirinya yang menjadikan ia tertinggal dan tidak ikut berperang bersama Nabi SAW.
Ketika perang selesai dan berita kepulangan Nabi SAW tersiar, Ka’ab dihantui kerisauan. Terbetik dalam dirinya untuk berbohong, agar terhindar dari kemarahan Rasulullah SAW. Namun, ia tak berani berbohong. Ia membulatkan tekad untuk berkata jujur.
Setelah Nabi SAW tiba, Ka’ab segera menghadap Nabi SAW. Beliau terseyum hambar sambil memalingkan wajahnya yang mulia. Ka’ab berkata, “Wahai Rasulullah, engkau te lah berpaling dari saya. Demi Allah, saya bukanlah orang mu nafik dan saya meyakini ke imanan saya.” Beliau bersabda,“Kemarilah, mengapa engkau tidak ikut berperang, bukankah engkau sudah membeli unta sebagai kendaraan?”
Ka’ab pun menjawab, “Ya Rasulullah, kalau kepada orang lain sudah tentu saya dapat memberikan berbagai alasan agar ia tidak marah, karena Allah telah mengaruniakan kepada saya kepandaian berbicara. Tetapi kepada engkau, walaupun saya dapat memberikan keterangan dusta yang dapat memuaskan hatimu, sudah tentu Allah akan murka kepadaku.”
Ka’ab menambahkan, “Sebaliknya jika saya berkata jujur sehingga engkau marah, saya yakin Allah akan menghilang kan kemarahan engkau. Maka, saya akan berkata dengan sejujurnya. “Demi Allah, saya ti dak memiliki halangan apa pun. Seperti halnya orang lain, saya berada dalam keadaan lapang dan bebas. Bahkan, pada saat ini saya memiliki kesempatan yang lebih baik daripada masa-masa sebelumnya.”
Rasulullah SAW bersabda, “Engkau telah berkata jujur, berdirilah, Allah akan memutuskan segala urusanmu.” Setelah itu, Ka’ab meninggalkan Nabi SAW dan pulang ke rumahnya. Dalam masa penantian menunggu keputusan Allah SWT, Ka’ab dilarang ber bicara pada siapa pun dan ia juga diperintahkan untuk menjauhi istrinya.
Orang-orang pun menjauhinya dan mengucilkannya seakan-akan dunia menolak nya. Bukan hanya itu, saudaranya pun tidak mau berbicara ke padanya dan bahkan ada orang yang mengajaknya ke luar dari agama Islam. Semua ini menjadikan Ka’ab sangat bersedih.
Pada hari yang ke-50, kabar gembira pun datang kepadanya, bahwa Allah menerima taubat Ka’ab dan dua sahabatnya. Dengan hati gembira Ka’ab datang menghadap Nabi SAW. Beliau bersabda, “Bergembiralah dengan meraih saat yang penuh kebaikan, yang belum pernah kau lalui sejak engkau dilahirkan ibumu.”
Sebagai rasa syukur Ka’ab pun menyedekahkan sebagian hartanya dan ia berkata, “Ya Rasulullah, Allah sungguh telah menyelamatkan diriku dengan kejujuran, maka sebagai bagian dari pertobatanku, aku tidak akan berbicara kecuali dengan kejujuran selama sisa hidupku.”
Kejujuran adalah kesesuaian amal dengan tuntunan perintah-perintah syariat. Semoga kisah ini menjadi teladan bagi kita untuk berlaku jujur dalam berbagai kondisi walaupun hal itu berisiko, karena kejujuran membawa pada kebaikan dan pada surga. Wallahu’alam.