Konsumsi beras di Papua masih rendah. Sagu menjadi pilihan untuk ketahanan pangan lokal.
Adakah orang Papua yang menjadikan sagu sebagai makanan pokok? Jawabnya tentu saja masih ada. Bahkan masih banyak, terutama yang berada di kampung-kampung. Di Kampung Malaumkarta, Kabupaten Sorong, misalnya, kata kepala kampungnya, Jefry Mobalen, “Sembilan puluh persen kebutuhan pangan kami masih mengandalkan sagu dan ubi.”
Hasil survei valuasi ekonomi di Malaumkarta yang dilakukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan Pusat Studi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Universitas Padjadjaran, Bandung, pada 2018, menyebutkan setiap keluarga rata-rata mengonsumsi sagu sebanyak 38,4 noken per tahun. Setara 576-768 kilogram, dengan isi noken mencapai 15-20 kilogram.
Warga Kampung Uni, Distrik Bomaika, Kabupaten Boven Digoel, juga masih mengandalkan sagu dan ubi sebagai makanan pokok. Kalaupun harus mengonsumsi beras, belum tentu mereka lakukan sebulan sekali. Mereka hanya membeli sedikit beras. Kata Daniel Mitop, warga Kampung Uni, sekali beli cuma sekaleng kecil, kaleng susu kental manis. Ukuran segitu pun harganya sudah Rp 15 ribu.
Di Papua, menurut data Badan Pusat Statistik Papua, produksi padi mencapai 286.280 ton gabah kering giling. Sebelum pemekaran, Boven Digoel masuk wilayah Provinsi Papua. Di Papua Barat, produksi padi pada 2021 mencapai 26.930 ton gabah kering giling. Jumlah itu setara dengan 16.895 ton beras. Konsumsi beras di Tanah Papua masih rendah. Di Papua Barat, misalnya, menurut data Sensus Ekonomi 2020, konsumsi beras hanya 6,45 kilogram per kapita per tahun. Konsumsi beras nasional mencapai 111 kilogram per kapita per tahun.
Oohya! Orang Papua memiliki ketahanan pangan yang luar biasa. Dari 5,5 juta hutan sagu, apakah semua ada di Papua? Tentu saja tidak, tapi luas hutan sagu di Tanah Papua mencapai 85 persennya. Pada Pekan Sagu Nusantara 2020, Gubernur Papua Lukas Enembe menyebut potensi produksi sagu di Papua mencapai 13,6 juat ton per tahun dari 4,74 juta hektare hutan sagu di Papua. Tapi, yang diolah masih sedikit. Di Papua Barat sebelum pemekaran, misalnya, menurut data di kantor Gubernur Papua Barat, dari 510.213 hektare hutan sagu, baru 20 hektare yang diolah.
Perempuan-perempuan Papua masih mengolah sagu. Orang-orang papua masih mengolah sagu dengan cara manual. Rata-rata mereka masih mencacah batang sagu dengan pangkur. Sebanyak 80 persen masih untuk konsumsi lokal. Dan hanya 20 persen yang mengolah sagu untuk dijual. Tepung sagu bisa diolah menjadi beragam jenis penganan. Bisa dijadikan mi instan, kue, dan sebagainya, termasuk piza Papua.
Priyantono Oemar