Ahad 27 Nov 2022 06:08 WIB

Wamenkumham: Masa Transisi KUHP Baru Selama 3 Tahun

Masa transisi KUHP yang lama ke yang baru termaktub dalam Pasal 627.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Muhammad Fakhruddin
Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej menyampaikan paparannya dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/11/2022). Dalam rapat yang membahas penyempurnaan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tersebut Wamenkumham menyatakan pemerintah telah mempertimbangkan untuk mengubah beberapa pasal krusial.
Foto: ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
Wamenkumham Edward Omar Sharif Hiariej menyampaikan paparannya dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR di kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (24/11/2022). Dalam rapat yang membahas penyempurnaan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) tersebut Wamenkumham menyatakan pemerintah telah mempertimbangkan untuk mengubah beberapa pasal krusial.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy bersama Komisi III DPR telah menyepakati pengambilan keputusan tingkat I terhadap rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Kesepakatan tersebut tinggal di bawa ke rapat paripurna DPR terdekat untuk disahkan menjadi undang-undang.

Kendati nantinya sudah disahkan dan diundangkan, KUHP yang baru disebutnya tak bisa langsung berlaku begitu saja. Perlu waktu maksimal tiga tahun transisi dari KUHP yang lama ke yang baru.

Baca Juga

"Itukan (KUHP yang baru) banyak ada aturan pelaksanaan yang harus dikerjakan, jadi tidak mungkin dalam satu tahun, tapi ingat maksimal (masa transisi) tiga tahun," ujar Eddy di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta.

Masa transisi KUHP yang lama ke yang baru termaktub dalam Pasal 627 yang sudah disepakati oleh pemerintah dan Komisi III. Penjelasan dalam daftar inventarisasi masalah (DIM) milik pemerintah, tertulis bahwa masa transisi selama tiga tahun mempertimbangkan masa tahapan pemilihan umum (Pemilu) 2023 hingga 2024.

Selain mempertimbangkan tahapan Pemilu 2024, perlu adanya penyesuaian peraturan perundang-undangan eksisting dengan RKUHP. Misalnya, pidana denda yang diatur dalam undang-undang administrasi bersanksi pidana.

"Ada berbagai macam peraturan yang harus kita selesaikan. Misalnya terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat itu akan dibuat peraturan pemerintah sebagai pedoman bagaimana pemberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat, itu contoh konkrit," ujar Eddy.

RKUHP saat ini, jelas Eddy, merupakan hasil sosialisasi pihaknya di 11 kota. Kendati demikian, ia mengatakan bahwa payung hukum pidana nasional terbaru itu tak bisa memuaskan semua pihak.

"Tidak mungkin kita akan memuaskan semua pihak ya, karena setiap isu di dalam RKUHP itu pasti penuh dengan kontroversi dan kontroversi," ujar Eddy.

Namun dipastikannya, RKUHP saat ini jauh lebih baik ketimbang RUU yang ditolak masyarakat pada 2019. DPR dan pemerintah disebutnya telah menampung seluruh aspirasi publik, meski diakuinya bahwa semua pendapat tak bisa ditampung dalam RKUHP terbaru.

"Kami mencoba mengakomodasi berbagai pihak dan itu tertuang baik di dalam batang tubuh maupun penjelasan," ujar Eddy.

"Kalau ada warga masyarakat yang merasa hak konstitusional dilanggar, pintu Mahkamah Konstitusi terbuka lebar-lebar untuk itu dan di situlah kita melakukan perdebatan hukum yang elegan dan saya kira bermartabat," sambungnya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement