REPUBLIKA.CO.ID, LONDON --"Dalam beberapa tahun belakangan, ledakan itu terjadi. Kami kebingungan mengapa bisa begini, dan hal ini tergolong sukar dibicarakan dengan rekan-rekan," ujar seorang psikiatris anak di London kepada the Guardian seperti dilansir Kamis (24/11/2022). Ia bicara tentang meroketnya anak-anak di bawah 18 tahun yang mengidentifikasi gender mereka berbeda dari kelamin saat dilahirkan alias disforia gender.
Perempuan yang telah buka praktek sejak 17 tahun lalu itu mengenang, pada masa lalu, ia hanya menemui kasus serupa sekali dalam dua tahunan. Saat ini, sekitar 10 hingga 20 persen pasiennya terkait kasus disforia gender tersebut. Kebanyakan adalah anak-anak perempuan usia 12-13 tahun yang ingin mengubah gender menjadi lelaki.
Psikiater senior lainnya menuturkan, saat ini sekitar 5 persen pasiennya menghendaki perubahan kelamin. "Ini terjadi sejak lima atau sepuluh tahun belakangan. Kami melihat peningkatan tajam jumlah gadis usia 12-13 tahun yang ingin menjadi lelaki. Mereka mengubah nama dan mendesak untuk menjalani penekan hormon dan pubertas," ujarnya.
Lonjakan itu bukan dugaan semata. Studi yang dilancarkan Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris mencatat, pada 2021 tercatat lebih dari 5.000 anak menginginkan berganti gender. Jumlah itu melonjak seratus persen dari tahun sebelumnya. Sepuluh tahun sebelum itu, hanya 250 kasus tercatat.
Tak hanya di Inggris, ledakan serupa juga tercatat dalam jumlah sangat masif di Amerika Serikat. Bekerja sama dengan Komodo Health Inc, Reuters melacak anak-anak yang menjalani prosedur perubahan gender di Amerika Serikat dalam beberapa tahun belakangan.
Temuan yang dilansir Oktober lalu itu menunjukkan, pada 2021 sebanyak 42 ribu anak-anak didiagnosis memiliki kecenderungan disforia gender. Jumlah itu melonjak tiga kali lipat ketimbang jumlah pada 2017. Sejak 2017, tercatat sedikitnya 121.882 anak usia 6-17 tahun didiagnosa mengalami disforia gender. Dan jumlah ini sangat mungkin jauh lebih sedikit ketimbang jumlah sebenarnya karena sejauh ini hanya pengguna asuransi kesehatan yang dihitung.
Jumlah anak-anak yang didukung orang tua mereka menjalani prosedur perubahan gender juga melonjak tajam. Prosedur ini biasanya dilakukan pada usia 10-11 tahun. Pengguna obat-obatan penekan pubertas pada 2021, tercatat sebanyak 1.390 anak. Pengobatan ini menekan perubahan tubuh terkait pubertas pada anak-anak. Misalnya, ia menahan pertumbuhan payudara pada perempuan serta mencegah pertumbuhan jakun pada pria.
Sementara anak-anak yang diberikan terapi hormon di AS mencapai 4.231 anak pada 2021. Jumlah ini melonjak lebih dari separuh dibandingkan 1.905 anak pada 2017. Secara total, sebanyak 14.726 anak menjalani terapi hormon di AS lima tahun belakangan.
Terapi ini dilakukan dengan menyuntikkan testosteron pada remaja yang lahir sebagai perempuan untuk menumbuhkan ciri-ciri kelaki-lakian, dan sebaliknya penyuntikan estrogen pada remaja yang lahir sebagai lelaki agar mendapat ciri-ciri feminin.
Sementara operasi pergantian kelamin dilakukan pada 282 anak/remaja pada 2021. Jumlah tindakan ini mengalami kenaikan stabil sejak 2019 (238 operasi) dan 2020 (256 operasi). Kenaikan ini disertai melonjaknya juga klinik layanan pergantian gender bagi anak di AS yang kini mencapai lebih dari 100 unit dari nol pada 15 tahun lalu.
Persoalannya kemudian, sejauh ini belum ada hasil uji saintifik soal bagaimana dampak prosedur-prosedur tersebut bagi masa depan penggunanya. Sebagian dokter meyakini, penghambat pubertas pada anak lelaki bisa menghambat juga perkembangan tulang dan otak.
Sementara studi yang dilakukan Cechilia Dhejne dkk di Swedia menunjukkan bahwa prosedur pergantian kelamin secara signifikan meningkatkan risiko kematian, tindakan bunuh diri, hingga morbiditas psikiatri.
Sejauh ini, obat penghambat pubertas dan juga suntikan hormon belum mendapatkan persetujuan Administrasi Obat-obatan dan Makanan AS (FDA) untuk layanan gender anak. Pada 2016, FDA mewajibkan produsen penghambat pubertas untuk menyertakan peringatan terkait masalah psikiatrik. Hal ini setelah lembaga itu menerima laporan soal tendensi bunuh diri pada anak-anak yang diberi obat itu.
Belum ada juga studi soal berapa banyak anak/remaja yang tetap merasa puas dengan keputusan perubahan gender. Hal ini signifikan karena sejumlah pegiat layanan gender sendiri menilai banyak kasus keinginan mengubah gender pada anak-anak sebenarnya hanya sementara saja.
Seiring penelaahan lanjutan, banyak aduan disforia gender ternyata berasal dari gangguan psikologis lainnya. Diantaranya tren gender cair yang masih bisa berubah-ubah serta masalah mental lainnya yang dipicu trauma tertentu.
"Saya khawatir kami memberikan diagnosis palsu dan menjerumuskan anak-anak ini pada perubahan fisik yang tak bisa dibalik lagi," ujar Erica Anderson, seorang psikolog klinis yang sempat bekerja di klinik gender Universitas Kalifornia. Sedangkan the New York Times mengutip Laura Edwards-Leeper, seorang psikolog klinis di Oregon, terdapat tingkat tinggi kasus kesehatan mental seperti autisme dan ADHD pada anak/remaja yang menginginkan perubahan gender belakangan.
Apa kemudian yang menyebabkan lonjakan tersebut? The Guardian mengutip Celo Madeleine, juru bicara grup dukungan transgender, bahwa maraknya ekspose terhadap fenomena itu jadi salah satu pendukung. Normalisasi perilaku homoseksual dan perubahan gender dan identitas gender alternatif lainnya punya peran mendorong anak-anak.
Seorang ibu dari anak transgender di London mengamini bahwa media sosial juga berperan. "Hal itu didiskusikan jauh lebih terbuka dan lebih banyak sekarang sehingga seperti bukan lagi menjadi tabu," ujarnya pada the Guardian.
Melalui artikel di Yaqeen Institute, Dr Carl Sharif El-Tobgui yang menyoroti LGBT dalam pandangan Islam menekankan bahwa serbuan kampanye LGBT lewat media turut berperan membentuk kondisi terkini. Ia menyoroti, pada 2010 hanya ada sekitar 10 buku untuk anak dan remaja yang berisi karakter gay. Pada 2016, jumlah itu melonjak menjadi 80 buku.
Sementara lembaga pro-LGBT GLAAD mencatat bahwa dari 118 film rumah produksi terkemuka sejak 2019, sebanyak 18,6 persen mengandung karakter LGBT. Ledakan representasi karakter LGBT di budaya populer itu mulai terjadi sejak 2010. Sejumlah perpustakaan umum dan sekolah di Amerika Serikat juga belakangan mengadakan pembacaan cerita oleh penampil "drag queen". Penampil ini biasanya pria dengan dandanan perempuan yang berlebihan.
Menghadapi fenomena itu, Dr El-Tobgui menekankan perlunya menanamkan norma-norma Islam di keluarga Muslim. Selain itu, umat Islam perlu menjauhkan diri dari perangkap sempit identitas seksual. "Perlu dicatat bahwa Islam tak mengkategorisasikan manusia berdasarkan syahwat seksualnya," ujarnya. Adalah tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu yang dikenai hukuman haram dan halal.
Menurut Dr El-Tobgui, perasaan suka sesama jenis atau disforia gender adalah kenyataan yang tak bisa dipadamkan begitu saja, apalagi dengan kekerasan. Penting memberikan pendampingan emosional dan spiritual bagi mereka-mereka yang menunjukkan kecenderungan tersebut. Menurutnya, mereka-mereka yang memiliki kecenderungan tersebut namun menahan diri dari menunjukkannya, tak mengkampanyekannya, dan terutama menolak menuruti syahwat dengan melanggar aturan agama, harus dipandang sebagai pihak-pihak yang tengah melakukan jihad.