Senin 28 Nov 2022 13:05 WIB

Jarang Terjadi, Pengunjuk Rasa Minta Xi Jinping Mundur

Pengunjuk rasa frustasi dengan kebijakan nol Covid dan meminta Xi Jinping mundur

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Esthi Maharani
 Para pengunjuk rasa memegang kertas kosong dan meneriakkan slogan-slogan saat mereka berbaris sebagai protes di Beijing, Ahad, 27 November 2022. Para pengunjuk rasa yang marah dengan langkah-langkah anti-virus yang ketat menyerukan agar pemimpin kuat China itu mengundurkan diri, teguran yang belum pernah terjadi sebelumnya sebagai otoritas di setidaknya delapan kota berjuang untuk menekan demonstrasi hari Minggu yang mewakili tantangan langsung yang jarang terjadi pada Partai Komunis yang berkuasa.
Foto: AP/Ng Han Guan
Para pengunjuk rasa memegang kertas kosong dan meneriakkan slogan-slogan saat mereka berbaris sebagai protes di Beijing, Ahad, 27 November 2022. Para pengunjuk rasa yang marah dengan langkah-langkah anti-virus yang ketat menyerukan agar pemimpin kuat China itu mengundurkan diri, teguran yang belum pernah terjadi sebelumnya sebagai otoritas di setidaknya delapan kota berjuang untuk menekan demonstrasi hari Minggu yang mewakili tantangan langsung yang jarang terjadi pada Partai Komunis yang berkuasa.

REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING – Aksi unjuk rasa memprotes penerapan karantina wilayah (lockdown) terjadi di sejumlah wilayah di China, termasuk Beijing, Ahad (27/11/2022). Dalam aksinya, massa, yang telah frustrasi dengan kebijakan nol-Covid pemerintah pusat, tak segan menyerukan Presiden China Xi Jinping mundur.

Kebakaran mematikan di Urumqi, Xinjiang, pekan lalu yang menewaskan 10 orang merupakan pemantik kemarahan warga China. Mereka menilai, upaya penyelamatan dalam insiden itu terhambat karena adanya peraturan lockdown. Kejadian tersebut mendorong warga China turun ke jalan untuk memprotes penerapan lockdown dan menunjukkan simpati pada masyarakat Xinjiang.

Pada Ahad lalu, setidaknya 400 warga China menggelar unjuk rasa di tepi Sungai Liangma. Beberapa peserta aksi meneriakkan, “Kita semua orang Xinjiang! Pergilah orang China”. Dalam aksi tersebut, mereka pun menyanyikan lagu-lagu kebangsaan. Kepolisian Beijing mengawal jalannya unjuk rasa.

Di Shanghai, para pengunjuk rasa menggelar aksinya di jalan Wulumuqi. Wulumuqi merupakan nama Mandarin untuk Urumqi. Selain menunjukkan dukungan untuk warga Urumqi, massa aksi turut mengecam pemerintahan Xi Jinping. “Xi Jinping mundur! Partai Komunis China mundur!” teriak beberapa warga Shanghai yang berpartisipasi dalam unjuk rasa, dilaporkan laman The Straits Times.

Baca juga : Keponakan Pemimpin Tertinggi Iran Dukung Protes Anti-Rezim

Unjuk rasa di Shanghai akhirnya berakhir bentrok dengan aparat kepolisian. Namun pada Ahad sore, ratusan warga Shanghai berbondong-bondong mendatangi jalan Wulumuqi lagi. Mereka membawa kertas kosong dan bunga, kemudian menggelar unjuk rasa senyap.

Aksi unjuk rasa serupa dilaporkan turut terjadi di Wuhan, Guangzhou, Chengdu, dan Hong Kong. Momen protes yang meluas semacam itu jarang terjadi di China. Hal itu karena otoritas Negeri Tirai Bambu selalu berhasil menekan setiap pihak yang mencoba beroposisi atau berseberangan dengan pemerintah.

Terkait unjuk rasa yang pecah di beberapa wilayah China pada Ahad lalu, pemerintah diduga sudah menerapkan penyensoran informasi di media sosial (medsos). Di platform Weibo, yakni medsos mirip Twitter milik China, setiap berita tentang aksi unjuk rasa dengan kata pencarian “Sungai Liangma” dan “Jalan Urumqi” telah dihapus. Referensi apa pun yang merujuk ke aksi unjuk rasa dilenyapkan.

Pencarian tagar #A4, misalnya, tidak muncul di Weibo. Tagar tersebut merupakan referensi untuk aksi protes senyap yang dilakukan warga Shanghai sambil membawa kertas kosong ukuran A4.

Baca juga : Kim Jong-un: Tujuan Utama Korut Adalah Kekuatan Nuklir Terkuat

Video, termasuk yang menunjukkan sekelompok mahasiswa tengah bernyanyi dalam aksi unjuk rasa, juga telah menghilang dari aplikasi perpesanan WeChat. Muncul pemberitahuan bahwa konten-konten tersebut telah dilaporkan sebagai konten “yang tidak patuh atau sensitif”.

Kontrol informasi yang ketat dan pembatasan perjalanan berkelanjutan terkait kebijakan nol-Covid telah membuat proses verifikasi jumlah pengunjuk rasa di sejumlah wilayah di China terkendala. Yang jelas, warga di sana telah frustrasi dengan kebijakan nol-Covid pemerintah pusat. Lewat kebijakan itu, penemuan beberapa kasus Covid-19 segera direspons dengan pemberlakuan lockdown, masa karantina yang lama, dan pengujian massal.

Pakar politik China dari National University of Singapore, Alfred Wu Muluan, dapat memahami kejenuhan dan rasa frustrasi warga China atas kebijakan nol-Covid.

“Orang-orang sekarang telah mencapai titik didih karena belum ada arah yang jelas untuk mengakhiri kebijakan nol-Covid. Partai (Komunis China) telah meremehkan kemarahan rakyat,” katanya mengomentari unjuk rasa yang pecah di sejumlah wilayah di China pada Ahad lalu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement