REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasarkan data terbaru dari World Economic Forum (WEF), masyarakat Indonesia menghabiskan Rp 91 triliun per tahun untuk belanja lebih dari 1 miliar hijab setiap tahunnya. Tetapi sangat disayangkan, sekitar 75 persen masih dikuasai oleh produk-produk impor. Temuan dari artikel WEF yang ditulis oleh social commerce Evermos tersebut menjadi topik yang sedang hangat diperbincangkan publik, bahkan hingga ke beberapa tokoh masyarakat.
Sebagai salah satu negara dengan penduduk muslim terbanyak, tak heran jika pasar busana muslim seperti hijab di Indonesia begitu besar. Arsjad Rasjid, Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia menanggapi artikel tersebut dalam tulisannya. "Besarnya pasar busana muslim di Indonesia ini sudah terbukti. Selama 10 tahun terakhir, negeri kita telah menjadi trendsetter fesyen muslim di dunia. Bahkan pada tahun 2022, beragam acara pekan mode muslim nasional hingga internasional telah diselenggarakan."
"Lantas mengapa produk lokal hanya menguasai 25% dari pasar hijab tersebut? Jawabannya adalah karena produk-produk impor yang lebih murah mudah sekali masuk ke pasar kita. Dengan rendahnya tarif, minimnya hambatan masuk ke Indonesia, serta merebaknya platform e-commerce internasional yang memudahkan konsumen membeli barang impor, tentu saja hal ini dapat terjadi," jelas Arsjad Rasjid.
Anwar Abbas, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang juga merupakan ahli ekonomi islam menyampaikan, hal ini tentu jelas sangat membebani cadangan devisa dan juga akan sangat mempengaruhi serta merugikan usaha dalam negeri.
Satu suara dengan kedua tokoh masyarakat sebelumnya, Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, juga memberikan tanggapan terhadap artikel WEF tulisan Evermos tersebut. "Kita harus merebut pasar dan jadi juara di negeri sendiri. Ini peluang usaha yang potensial dan mampu membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi masyarakat, jadi harus kita optimalkan," kata Sandi dalam keterangan persnya, Senin (28/11/2022).
Kerja Sama
Menurut Anwar Abbas dan Arsjad Rasjid terdapat beberapa pihak yang perlu terlibat untuk dapat merebut kembali pasar hijab Indonesia, yaitu mulai dari para pengusaha, pemerintah, masyarakat sipil, hingga para pemakai hijab.
"Pertama untuk para pengusaha, kita perlu meningkatkan kreativitas dan efisiensi produksi hijab lokal. Kita pasti bisa memproduksi barang-barang yang jauh lebih menarik, jauh lebih lebih berkualitas dan jauh lebih murah daripada hasil produksi luar negeri," kata Anwar Abbas.
Menurutnya, pemerintah diharapkan dapat senantiasa terus mendukung dan memberikan perhatian lebih kepada industri hijab, sehingga pasar hijab dalam negeri benar-benar bisa dikuasai oleh produksi lokal.
Selaras dengan pemikiran ini, Arsjad Rasjid menjelaskan bahwa KADIN telah sedang menjalankan beberapa program untuk para pengusaha. Program-program ini diharapkan dapat melahirkan pengusaha baru dan mendorong UKM untuk meningkatkan skala produksinya dan menangkap pasar yang lebih luas.
Upaya serupa juga dihadirkan oleh Evermos, penulis artikel WEF yang tengah diperbincangkan. Ghufron Mustaqim, CEO dan Co-founder Evermos, menyampaikan dengan menghubungkan brand lokal dengan jaringan ratusan ribu reseller aktif di seluruh Indonesia, Evermos membantu para pengusaha untuk dapat memperluas pasarnya hingga Sabang dan Merauke.
Dalam hal ini, Sandiaga Uno menjelaskan bahwa Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) akan terus menggenjot sektor ekonomi kreatif. Beberapa genjotan tersebut antara lain dengan memberikan kemudahan untuk pelaku usaha ekonomi kreatif serta meluncurkan berbagai program seperti program Apresiasi Kreasi Indonesia dan program Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia.
"Bukan hanya Bangga Buatan Indonesia, tapi juga bangga beli produk kreatif lokal. Local pride! Itu yang harus ditanamkan, sehingga potensi luar biasa ini bisa berdampak langsung kepada masyarakat," lanjut Sandiaga Uno, yang mengajak masyarakat untuk lebih banyak menggunakan produk lokal.