REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mayor Infantri (Purn) Isak Sattu menyampaikan pledoi atau nota pembelaan dalam kasus HAM berat Paniai yang menjeratnya pada Senin (28/11/2022) di Pengadilan Negeri Makassar. Dalam kesempatan itu, Isak menyinggung dugaan keterlibatan pihak lain.
Isak menganggap tuntutan 10 tahun penjara yang disampaikan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadapnya tergolong prematur. Ia merasa tak memenuhi persyaratan yang memadai untuk dijatuhi hukuman itu.
"Dijadikan saya terdakwa tumbal dari sekian banyak saksi-saksi yang diperiksa, padahal ada saksi-saksi yang lebih berpotensi untuk ditingkatkan menjadi tersangka, terdakwa, tapi tidak didalami oleh tim pemeriksa JPU," kata Isak dalam persidangan yang disiarkan secara virtual itu.
Isak menampik tudingan JPU soal pembiaran serangan sistematis, meluas, dan mengancam terhadap masyarakat. Isak pun merasa dipaksa untuk mengetahui peristiwa pada 7 Desember 2014 yang memantik kejadian pelanggaran HAM berat pada 8 Desember 2014. Padahal, dirinya tak tahu menahu mengenai kejadian itu.
"Itu sudah saya sampaikan di-BAP (berkas acara pemeriksaan)," ujar Isak.
Isak juga menegaskan sudah melakukan pencegahan sesuai prosedur yang berlaku saat massa mendatangi kantor Koramil Enarotali pada 8 Desember 2014. Isak justru balik menuduh masyarakat penyerang aparat.
"Maka sebaliknya dari pihak massa masyarakat lakukan serangan yang meluas dan terencana terhadap aparat keamanan Polsek Paniai Timur dan Koramil Paniai," ujar Isak.
Isak menyayangkan JPU yang hanya fokus menarik kesimpulan bahwa yang ada di Koramil Enarotali pasti menjadi tersangka. Padahal menurutnya, anggota kepolisian berpotensi menjadi tersangka pada kasus ini.
"JPU tidak dalami tembakan-tembakan dari Polres Paniai, Satgas Brimob dan Polsek Paniai Timur. Padahal, berpotensi jatuhkan korban meninggal dunia dan luka-luka. Apalagi, mereka masuk membubarkan pendemo," kata Isak.
Isak kemudian menyoroti oknum personel Paskhas Pos Bandara Enarotali pantas yang harus diselidiki lebih jauh keterlibatannya. Sebab, ia menemukan adanya tembakan dari arah menara pos tersebut ke tempat ditemukannya korban meninggal dunia.
"Tembakan dari arah atas menara lurus ke pinggir pagar tempat ditemukan korban meninggal yang diduga tembakan dari Paskhas tidak didalami," kata Isak.
Isak mengeluhkan dirinya yang dijadikan terdakwa tunggal. Ia merasa tupoksi selaku Perwira Penghubung seharusnya tak membuatnya menjadi terdakwa. Sebab, pengerahan pasukan di Koramil Enarotali bukan menjadi kewenangannya. "Satuan polisi enggak ada yang jadi tersangka, terdakwa, padahal berpotensi," kata dia.
Satuan Paskhas TNI AU tidak ada yang jadi tersangka, terdakwa padahal berpotensi juga. Dan banyak anggota yang tidak diperiksa padahal mereka ada di kejadian peristiwa tanggal 7 dan 8 Desember 2014. Mereka juga berpotensi jadi saksi, tersangka, terdakwa," tegas Isak.
Selain itu, Isak menyinggung tim gabungan pencari fakta kasus HAM berat Paniai yang gagal mendapatkan bukti pelaku sebenarnya. Menurutnya, tim tersebut mestinya bisa menentukan arah tembakan yang menyebabkan korban meninggal dunia dan luka-luka.
"Harusnya mereka bisa karena mereka ahlinya di bidangnya masing-masing-masing. Fakta-fakta di lapangan kurang didalami seperti arah tembakan dari tower Paskhas TNI AU," sebut Isak.
Sebelumnya, Isak Sattu dituntut penjara sepuluh tahun dalam kasus pelanggaran HAM berat Paniai Berdarah. Tim JPU menuntut Isak karena melanggar dakwaan pertama Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Kemudian melanggar dakwaan kedua, Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Juncto Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Peristiwa Paniai Berdarah terjadi pada 8 Desember 2014 di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Kabupaten Paniai. Peristiwa itu terkait dengan aksi personel militer dan kepolisian saat pembubaran paksa aksi unjuk rasa dan protes masyarakat Paniai di Polsek dan Koramil Paniai pada 7-8 Desember 2014.
Aksi unjuk rasa tersebut berujung pembubaran paksa dengan menggunakan peluru tajam. Empat orang tewas dalam pembubaran paksa itu adalah Alpius Youw, Alpius Gobay, Yulian Yeimo dan Simon Degei.