Menyuarakan Kegelisahan di Rawapening dengan Medium Lengkap
Rep: Bowo Pribadi/ Red: Muhammad Fakhruddin
Menyuarakan Kegelisahan di Rawapening dengan Medium Lengkap (ilustrasi). | Foto: Republika/Bowo Pribadi
REPUBLIKA.CO.ID,Oleh: Bowo Pribadi/Jurnalis Republika
Penyampaian pesan kegelisahan dari sebuah persoalan --tidak terbatas-- pada dimensi olah kata dan tulisan. Visual juga menjadi salah satu media yang efektif dalam mengungkapkan kritik dan kegelisahan.
Di satu sisi, visual memiliki ‘matra’ yang semakin beragam sebagai media untuk berinteraksi dengan penikmatnya.
Inilah yang dilakukan empat storyteller asal Kota Salatiga demi bisa mengkomunikasikan dan mengungkapkan bebagai problem serta persoalan konkret dari kondisi danau Rawapening kekinian.
Menurut kacamata mereka, danau alam Rawapening yang berada di daerah ‘tetangga’ Kota Salatiga --Kabupaten Semarang-- tidak akan pernah selesai jika ‘dikupas’.
Mulai dari kekayaan alam, potensi ekonomi yang menghidupi ribuan orang dari berbagai setor pekerjaan. Tak terkecuali degan proses revitalisasi danau yang sampai hari ini masih berlangsung di sana.
Pesan ini sarat tersirat dari pameran bertajuk ‘Rawapening Masa Gini’, yang digelar di Tanasurga Resto, Kota Salatiga, Jawa Tengah dan bekerjasama dengan LPM Dinamika Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga.
Ke-empatnya --Chandra Firmansyah, Lutfi Akmal, Ratu Haiu Dianee serta Tri Wahyu Prasetyo—membidik beragam persoalan serta problem yang ada di danau Rawapening dari berbagai sudut dan ruang pandang masing masing.
Namun begitu, pesan dari pameran ini menjadi semakin ‘menggigit’ karena masing- masing tidak terpaku pada penggunaan satu medium untuk menyampaikan pesan.
“Walaupun basis saya fotografi, saya tidak membatasi medium untuk bercerita,” jelasnya, dalam sesi diskusi yang dilaksanakan, Ahad (27/11) malam.
Dalam pameran ini, ia memadukan (mixed) media, mulai dari zine, lukisan, jurnal dan foto untuk menyampaikan kisah dalam mengangkat isu lingkungan di Rawapening. Sehingga medium penyampai ini semakin komplit.
“Ada ekspektasi besar bisa mengajak penikmat pameran ini untuk lebih peka terhadap isu- isu lingkungan yang ada di sana (red; danau Rawapening),” dalam diskusi yang juga melibatkan aktivis lingkungan, Titi Permata; pelaku ekonomi sekaligus owner Bengok Craft, Firman Setyaji darj Bengok Craft dan warga di pinggiran danau Rawapening.
Dalam diskusi ini, Titi Permata menangkap, kebijakan revitalisasi --yang menjadi prioritas program Pemerintah Pusat dalam mengembalikan fungsi 15 danau Secara nasional-- harus dilakukan dengan cermat.
Program ini, mestinya jangan hanya berpikir soal manusianya saja, namun juga penting memikirkan banyak ekosistem di Rawapening.
Menurutnya, kalau revitalisasi danau Rawapening hanya terfokus pada pembangunan fisik (untuk manusiasnya saja), revitalisasi yang dilakukan menjadi tidak ‘bersahabat’ dbagi makhluk hidup lainnya.
Artinya, keseimbangan ekosistem di Rawapening jangan terabaikan. “Ini berbahaya bagi lingkungan di Rawapening,” tegasnya.
Indikasi awal ketidakseimbangan yang terjadi, tegas Titi, lanjutnya, adalah punahnya ikan endemik. Dari laporan beberapa nelayan, ikan lokal seperti wader pari.
Ini menandakan ada masalah pada ikan endemik yang ada di Rawapening. Mestinya revitalisasi dilakukan dengan riset serta observasi yang komperehensif agar ekosistem di Rawapening tetap sehat.
“Jika ekosistemnya sehat, maka dampak kesejahteraan --secara ekonomi-- bagi masyarakat, yang hidup di sekitar danau Rawapening juga akan dapat dipertahankan,” tegasnya.