Oleh Priyantono Oemar
Wartawan Republika, Priyantono Oemar, pertama kali mengunjungi Papua pada Oktober 2005 untuk melihat Festival Kamoro di Timika. Lalu yang kedua pada Maret 2010 ke Manokwari, dilanjut lagi pada 2014 ke Jayapura dan Sorong, awal 2019 ke Sorong, akhir 2019 ke Kaimana dan Fakfak, dan akhir 2021 ke Boven Digoel dan Merauke. Sejak kunjungan pada 2014 hingga 2021, ia lebih banyak melihat masyarakat adat dan lingkungan (perairan dan hutan). Selama kurun inilah ia kumpulkan bahan-bahan mengenai pulang kampung dan penjagaan hutan. Hasilnya, tertuang dalam tulisan ini:
REPUBLIKA.CO.ID -- Dian Kandipi sedang berada di dalam hotel di tengah kota Jayapura, ketika demonstrasi muncul di Jayapura. Demonstrasi soal rasialisme yang menimpa mahasiswa Papua di Surabaya pada 2019 itu berujung kerusuhan di Jayapura. Hingga malam, hotel itu terkepung. Saat itu Dian sedang hamil tujuh bulan, sempat mengalami keram perut. Terjebak di hotel hingga malam hari. Jaringan komunikasi di Jayapura diputus. Sekadar SMS pun tak bisa. Japapura gelap, karena listrik dipadamkan.
Beruntung, jaringan komunikasi di hotel menggunakan satelit, sehingga Dian masih bisa mengirim berita ke Jakarta. “Tapi, keluarga tetap tidak bisa dihubungi, seperti tinggal di hutan,” ujar Dian, Selasa (29/11/2022).
Dian pulang dijemput keluarga, karena mengetahui kebiasaan Dian mengetik berita, jika tidak di kantor ya di kafe hotel itu. Lalu keluar hotel dari pintu belakang, pulang lewat jalan kampung. Karena suami Dian bukan orang Papua, bukan dia yang menjemput Dian. Keluarga khawatir terjadi sesuatu jika suami yang menjemput.
Mendengarkan cerita Dian, saya teringat pada pengalaman di tengah hutan tahun 2014. Kami sedang menemui beberapa kepala kampung di gedung puskesmas yang belum jadi di tengah hutan di Kampung Klasuat, Distrik Klayili, Kabupaten Sorong. Tak jauh dari gedung itu ada lapangan bola voli. Masih tanah. Beberapa warga terlihat sedang bermain bola voli, meski tidak lengkap dengan tim lengkap. Tak ada sinyal telepon seluler. Untuk kirim SMS pun tak bisa.
Belum seberapa lama, tiba-tiba datang tamu pejabat dari Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Sorong, bersama pengurus lembaga adat bentukan pemerintah. Dua tamu ini tak termasuk yang diundang, tapi masuk ke puskesmas bergabung dengan kami. Tak lama kemudian, tiba-tiba terdengar suara teriakan dan suara lemparan batu di atap gedung puskesmas. Suara makin riuh, dan meminta kami yang di dalam keluar dari gedung. Mereka menuntut ganti net. Nilainya Rp 1 juta. Tentu saja kami bingung.
Suara makin riuh lagi, memprotes tidak diajak dalam pertemuan itu. Lalu mereka menuduh, kami sedang membujuk para kepala kampung untuk sudi menjual tanah kepada kami. Tuntutan ganti net Rp 1 juta tetap mereka teriakkan, tetapi ketika tidak ada yang merespons, mereka menyuruh kami masuk mobil untuk segera pergi. Tetapi, begitu mau pergi, jalan diadang, mereka meminta Rp 250 ribu dari masing-masing mobil. Ada empat mobil. Kami bingung lagi, sebelum membayar permintaan mereka, mereka tak akan membuka jalan. Tuntutan tak dipenuhi, jumlah diturunkan menjadi Rp 50 ribu. Tetap juga tak dipenuhi.
Tiba-tiba, pejabat pemerintah yang datang tak diundang itu melambai-lambaikan tangan yang memegang sejumlah lembar uang. “Ini kami bayar, tapi ini hanya untuk kami. Mereka bukan urusan kami,” kata dia. Lalu ia menyerahkan uang itu dan pergi meninggalkan kampung tanpa diadang warga.
Yang ia maksudkan “mereka” tentu saja kami, rombongan wartawan dari Jakarta. Ketika warga sedang ribut meminta uang kepada kami, pejabat ini menyender santai di mobil dia sambil mengamati situasi, tak ada upaya melerai kemarahan warga. Bahkan ketika ada warga yang datang membawa parang, ia tetap bersender santai di mobilnya.
Mengenai warga yang membawa parang, Ketua Lembaga Masyarakat Adat Malamoi, Silas Kalami, menyebut sebagai warga yang baru pulang kampung. Silaslah yang mengantarkan kami ke Kampung Klayili untuk bertemu beberapa kepala kampung. Kampung-kampung ini sedang melakukan pemetaan partisipatif untuk memetakan wilayah adat mereka. Seminggu sebelum kami datang, warga berkonflik dengan perusahaan minyak yang mengambil tanah mereka. Warga yang berdemo ditahan polisi.
Pemetaan wilayah adat di Papua memilik banyak cerita. Banyak orang Papua yang lama merantau lalu pulang kampung, di kampung mengaku-aku sebagai kepala suku atau tokoh adat. Orang-orang semacam ini, menurut mantan wakil bupati Jayapura Zadrak Mawebu, menjadi penghambat pemetaan wilayah. Maka, asal-usul orang-orang macam ini perlu dirunut terlebih dulu, benar tidaknya ia adalah kepala suku atau tokoh adat. Setelah ditelusuri bersama tetua-tetua adat, ternyata bukan.
Sebelum menjadi wakil bupati Jayapura periode 2006-2011, ia sudah malang-melintang mendampingi masyarakat adat Papua. Ia juga merupakan anak dari seorang duguena (pemimpin adat). Sejak pemberlakuan Otonomi Khusus, menurut Zadrak, banyak orang Papua pulang kampung. Karena berani tampil dan berbicara, ada saja yang menyalahgunakan keterampilannya ini untuk, dalam istilah Zadrak, “menipu warga”. Mereka membawa cerita rekayasa tentang wilayah. “Ada kepentingan politik lokal untuk kuasai wilayah adat. Orang berpikir bagaimana caranya bisa dapat uang,” kata Zadrak kepada saya di Hotel Aston Jayapura pada 2014.